DI TENGAH MALAM di tahun 1612 ini kami hendak berlayar ke mata Selat Malaka. Malam ini bintang memenuhi angkasa Tuhan. Bulan penuh mengiringi perjalanan kami. Melambai saat kami mendayung sekoci kayu. Diam saat kami berlabuh.
Aku ditemani Ayahku. Tapi ini bukanlah perjalanan hendak menggapai bulan. Tiada seperti itu. Bajuku bukan sutera. Perhiasanku tidak mutiara. Hanya kain hitam dari rajutan benang kapas yang membalut aurat tubuhku. Hanya ada manik-manik kayu di leher dan lenganku. Ayahku pun tak bermahkotakan suasa. Apalagi berbaju sang penguasa. Ayah hanya melilitkan kain hitam sepertiku di tubuhnya. Pelaut berkulit hitam membawakannya untuk kami. Sandal kayu dengan tali dari serat ijuk sebagai penjepitnya. Pakaiannya pun tak lebih baik. Hanya kain hitam lusuh yang menutupi auratnya dari atas pusar hingga bawah lutut dan bersandal jepit layaknya punya kami. Ini perjalanan mengitari Selat Malaka. Menghindar dari mata-mata Portugis. Tapi aku takut rumus-rumus kehidupan di alam pikiranku dipungut kematian. Rayuan syaitan. Malam ini warna pakaian pelayaran kami ialah hitam. Termasuk seorang lelaki bersorban yang bibirnya terus komat kamit memuja asma Tuhannya agar penopang alam pikiranku tidak patah.
Dari mata Selat Malaka yang gelombangnya terus mendayu. Dititik garis lurus sekoci kayu yang kami dayung, perlahan aku melihat berjejer armada kapal perang dan sebuah kapal niaga diarah yang lain mendekat. Berlayar dari arah Barat saat kegelapan malam mencapai puncaknya.
Ayah tidak ingin menyebut ini penculikan. Melainkan serangan senyap. Meski aku merasa diculik dan dipaksa berganti pakaian. Ialah pelaut berkulit hitam yang tak lebih tinggi dari Ayah dan kemudian memperkenalkan diri sebagai orang kaya Raja Lelawangsa yang melakukannya bersama orang kaya Sri Maharaja. Lelaki bersorban yang bibirnya terus komat kamit, tingginya tak lebih empat langkah kaki orang dewasa, iris jenggot putih memanjang di dagu yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ialah Teungku Japakeh.
Ayah menangkap aroma ketakutan mulai menghinggapi kehidupan di alam pikiranku. Ayah memberiku ramuan penguat hati dengan mengatakan bahwa Sultan Alauddin Mansur Syah bin Sultan Mansur Syah I yang pernah memimpin Kesultanan Negeri Pahang adalah adik dari Sultan Ahmad Tajuddin Syah yang merupakan Sultan Perak dan menghubungkan silsilahnya dengan Kerajaan Aceh. Kurun waktu antara tahun 1577-1589 adalah saat kemesraan itu pernah terwujud.
Sekoci kayu yang membawa kami merapat ke dinding kapal niaga Kerajaan Aceh. Saat tangga yang terbuat dari tali serat ijuk yang tak akan putus diiris asam dan garam lautan diturunkan, Orang kaya Raja Lelawangsa naik ke atas kapal. Ayah dan aku naik setelahnya. Teungku Japakeh lalu mengubah arah sekoci yang tadi kami naiki dan mendayung untuk mencapai kapal perang Cakra Donya dan akan memimpin sementara hingga Tun Pangkat menerima Ayah dan bermufakat dengannya.
Angin malam menggigit tulang tubuhku. Hati bergerak tak beraturan saat seorang pemuda yang berusia separuh lebih muda dari Ayah menyapanya. Ia adalah Sultan Kerajaan Aceh bergelar Sultan Iskandar Muda. Nama masa kecilnya Darma Wangsa. Sering juga disebut Perkasa Alam, Tun Pangkat, Mahkota Alam atau lidah orang Aceh daratan menyebutnya Meukuta Alam. Di negeri asing yang menjalin persahabatan dengan Kerajaan Aceh, ia lebih dikenal sebagai Marhum Mahkota Alam.
Gelarannya yang lain adalah Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat atau lengkapnya Perkasa Alam Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat. Kulitnya seperti Ayah. Hanya saja helai kumisnya tak bisa aku hitung dengan jari. Rambutnya terurai lurus sebahu. Orang-orang Inggris Raya yang dulu pernah menguasai Malaka menyebutnya mid-length cuts. Penutup kepalanya bulat setengah hasta ke atas. Ada sorban yang melingkar di bagian bawah. Alis matanya seperti bulan baru. Hidungnya nubia. Ia mencerminkan sosok pemimpin yang cerdas dengan bakat istimewa, kreatif, penuh gairah, kharismatik dan mudah menarik perhatian banyak orang.
Hatiku tak kunjung sampai pada garis akhir cerita. Sultan sudah menyebut namaku tujuh kali secara verbal. Aku hanya menyebutnya di dalam hati. Ia mengenal namaku. Aku mempelajari kebesaran namanya.
Tun Pangkat mengerahkan hingga 100 kapal perang dalam pelayaran ini. Salah satunya adalah kapal niaga yang punya meriam pertahanan dan berfungsi sebagai penyuplai logistik perang. Kapal yang kini kami naiki. Berlayar terpisah dan berbendera Alam Peudeung. Bendera Kerajaan Aceh yang biasanya juga digunakan utusan Sultan untuk berniaga rempah-rempah. Bukan kapal perang utama berbendera kuning dengan gambar pedang ganda. Ini adalah pengecoh mata-mata portugis yang ingin mengincar Tun Pangkat. Ayah mengatakan Kerajaan Aceh punya 500 kapal perang dan 60.000 tentara laut.
Kapal ini penuh dengan taburan kembang tujuh rupa. Lada hingga dupa. Zikir kepada Tuhan dan wewangiannya menjadi terapi bagi hati yang sangat takut (karena kufur). Rayuan syaitan yang berusaha merayu akal kehidupan di alam pikiranku kini dibawa terbang angin yang mencuri wewangian kapal ini. Sebuah terapi alam.
Lebar pertengahan kapal ini hanya sepersetengah kapal perang utama Kerajaan Aceh yang berjuluk Cakra Donya dan memiliki panjang 120 kaki. Ini kapal rampasan perang Potugis dan dibuat kembali menjadi amat cantik oleh tangan-tangan perajin kapal Aceh daratan. Kapal ini hanya memuat 100 orang, dibandingkan kapal Cakra Donya yang bisa menampung 800 prajurit. Saat kami diajak turun ke tempat paling bawah dari kapal ini, aku melihat bilik-bilik yang rapi. Di bagian bawahnya lagi ada dayung-dayung panjang, tapi ringan. Didayung oleh dua prajurit pada setiap dayungnya saat mata angin tak lagi kuat berhembus dan layar dinaikkan.
Ini seperti sihir. Tapi tidak. Tidak seperti itu. Orang-orang Kerajaan Aceh tiada mengenal sihir. Sihir adalah pantangan besar. Perbuatan yang menyekutukan Tuhan. Mereka hanya percaya pada kekuatan peusaboh hatee (menyatu hati), baten samarata (hati yang menyatu) yang akan merontokkan segala penyakit, mengobati hati manusia kerdil, memberikan energi cadangan untuk mencapai suatu tujuan besar.
Tengoklah bilik kerinduan ini. Biliknya tiada untuk melucuti. Apalagi meratapi. Di sini terdapat banyak lukisan perempuan Aceh yang mengajari anak-anak mereka meureunoe beut (belajar mengaji). Lukisan yang tertera keindahan dari firman Tuhan. Dan, bunga-bunga Seulanga yang terangkai membentuk kecantikan budi pekerti perempuan Aceh.
Sultan berjalan di depan bersama Ayah, menaiki tangga ke bagian atas kapal yang juga terdapat meriam-meriam besar.
Aku belum bisa membayangkan kemegahan dari kapal perang Cakra Donya, bila kapal niaga saja megahnya sedemikian rupa. Aku berharap suatu saat juga punya kesempatan menaikinya.
Sultan bercerita tentang awal naik tahta tahun 1607, tujuh tahun silam. Saat itu usianya 17 tahun. Sultan lahir tahun 1590. Ibunya adalah Putri Raja Indra Bangsa, mengalir darah Al-Mukammal. Ayahnya Sultan Abdul Jalil bin Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Kahhar yang juga pernah memimpin Kerajaan Aceh antara kurun waktu 1539-1571. Kurun waktu di mana Semenanjung Malaka pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh, sampai akhirnya ditaklukkan oleh Portugis.
Sultan adalah cicit dari Al-Kahhar dan cucu Al-Mukammal.
— Bersambung —
0 Komentar