Tidak ada
ilmu yang lebih indah selain ilmu iman.
Abu Tumin Blang Bladeh. |
Itu adalah nasehat Abu Tumin Blang Bladeh yang beliau sampaikan kepada kami saat hendak beranjak
pulang setelah lebih dari setengah jam bersilaturrahmi ke kediamannya di
Gampong Kuala Jeumpa, Blang Bladeh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Aceh. Nasehat
yang akan selalu bersemi di hati kami.
Hari itu kami juga
banyak mendapat
nasehat lainnya dari Abu Tumin. Seorang ulama salafi kharismatik di Aceh. Murid dari alm. Abuya
Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy.
Nasehat dan pandangannya begitu menyentuh kami. Tapi
beliau tetap saja merendah. Di usianya yang telah
lebih dari 80 tahun, beliau nampak sehat dan segar. Pendengarannya masih sangat
jelas. Penglihatannya tajam dan pemikirannya pun cukup jernih. Abu Tumin
menyambut sendiri kedatangan kami siang
menjelang shalat Dhuhur hari itu.
Tentang tidak ada ilmu yang lebih indah selain ilmu iman,
beliau menjelaskan bahwa tidak ada ilmu yang dapat mengatur hidup dan kehidupan manusia selain ilmu iman.
“Dan, sebaik-baik ilmu yang dimiliki atas seseorang adalah
ilmu yang diperoleh saat di masa didik,” ujarnya.
Abu Tumin menjelaskan, ilmu itu awal dari terbentuknya
ideologi. Menjadi landasan seseorang saat akan terjun ke masyarakat.
“Semua itu bermula dari ilmu.”
Karena ilmu iman itu pula, dahulu masyarakat Aceh mencapai
puncak kejayaannya. Ilmu yang mempersatukan umara dan ulama. Ilmu yang sesuai dengan doa umat muslim sebagaimana tersebut di dalam
Alquran, "Rabbana atina fid-dunya hasanatan wa fil
'akhirati hasanatan waqina 'adhaban-nar."
Doa
yang mempunyai makna bahwa Islam datang untuk mengatur kehidupan manusia dengan
Allah SWT dan kehidupan manusia dengan sesama manusia.
Menurut
Abu Tumin, landasan-landasan itu yang dahulu membentuk kerjasama yang erat
antara sultan (umara) dengan ulama, hingga kemudian kita mengenal, “Adat bak
Poe Teumeruhom, hukom bak Syiah Kuala.”
Poe
Teumeuruhom atau nama lain dari Sultan Iskandar Muda yang melambangkan sosok
umara atau negarawan dan Syiah Kuala sebagai seorang ulama besar kala itu.
Abu
Tumin sendiri, dalam bahasa beliau, termasuk sosok ulama yang dalam
pergaulannya senantiasa berinteraksi dengan tubuh pemerintah dan keamanan. Tapi
beliau sendiri bukanlah orang pemerintah. Hal itu sudah dilakukannya semenjak
masih usia muda.
Tentang
perkembangan Aceh masa kini, Abu Tumin juga punya pandangannya tersendiri.
Menurut beliau, saat ini Aceh belum memiliki seorang panglima yang dapat menyatukan
seluruh komponen masyarakat Aceh. Begitupun dengan panglima yang dapat memupuk kembali
kesadaran umara atau negarawan dan ulama sebagaimana dipraktikkan pada masa
Sultan Iskandar Muda dahulu.
“Ketika
umara atau negarawan dan ulama berjalan sendiri-sendiri, maka dengan sendirinya
masyarakat juga akan terpecah dan terbagi ke dalam dua kelompok,” tutur Abu
Tumin.
“Tapi
ketika umara dan ulama sudah memiliki kesadaran untuk bersatu dalam kebaikan, maka
ketika muncul suatu keputusan, maka itulah keputusan umara dan ulama. Dengan
sendirinya masyarakat juga tidak akan terpecah belah lagi.”
Dalam
pandangannya, Abu Tumin menilai, ulama masih cukup mendapat tempat di hati
masyarakat Aceh.
Tapi,
karena belum adanya panglima seperti maksud di atas, masyarakat Aceh kini
seperti orang yang tidak tau cara menjaga malakat dan tuah yang dimilikinya.
“Malakat kana lam jaroe, tuah kana bak droe,
tapi lagei-lagei hana ta teu’oh peutimang,” tutur Abu Tumin dalam bahasa
Aceh.
“Perdamaian
dengan segala hal yang melekat di dalamnya, seperti MoU Helsinki dan UUPA
adalah salah satu malakat dan tuah yang dimiliki Aceh saat ini.”
Bagaimana
cara menjaga malakat dan tuah yang telah dimiliki adalah jalan menuju Aceh yang
lebih baik. Apalagi watak masyarakat Aceh dari dahulu sampai sekarang adalah
sama.
“Watak
masyarakat Aceh sebenarnya dari dahulu tidak pernah berubah. Yang berubah
adalah perangainya disebabkan pengaruh budaya global,” tutur Abu Tumin.
Beliau
pun kemudian merincikan tiga watak masyarakat Aceh, yaitu: (1) Geumaseh dalam artian hana meuthen memberi sesuatu kepada orang
lain; (2) Setia dan; (3) Berani.
Sebagai
ulama salafi kharismatik Aceh yang terlahir sejak masa penjajahan, Abu Tumin
menilai, ketiga watak itu sebenarnya menjadi landasan bagi kemajuan Aceh.
“Tapi
Aceh yang tidak dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian kecil, hingga identitasnya
hilang,” lanjut beliau.
Abu
Tumin termasuk salah satu ulama yang tidak ingin identitas Aceh hilang.
Terlebih indatu Aceh dahulu telah
berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil ke dalam
Kerajaan Aceh Darussalam.
Apalagi
pada masa Turki Usmany, Aceh Darussalam pernah mencatatkan namanya dalam daftar
lima besar kerajaan-kerajaan Islam di dunia.
Abu
Tumin pun tau benar tentang identitas Aceh ini dan berusaha untuk terus
menghidupkannya. Beliau, bersama-sama almarhum Abu Tanoh Mirah yang juga murid Abuya Syeikh Muda Wali
Al-Khalidiy aktif memprakarsai dan menghidupkan majelis taklim
antar kabupaten di seantero tanah Aceh.
Saat itu dan hingga kini pun, beliau aktif mengajar di
majelis taklim dihampir seluruh kabupaten di Aceh. Dari pesisir Timur hingga
Barat Aceh. Menjaga dan memperkuat silaturrahmi dengan seluruh komponen
masyarakat Aceh.
Abu Tumin yang memiliki
nama lengkap Tgk. H. Muhammad Amin pertama kali belajar agama dari orangtuanya
di Blang Bladeh.
Seperti anak-anak lainnya,
beliau juga belajar mengaji dari satu teungku kepada teungku lainnya di Aceh
hingga kemudian hijrah ke Labuhan Haji untuk belajar pada Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy.
Murid-murid Abuya Syeikh Muda Wali Al-Khalidiy sendiri kemudian banyak
dikenal sebagai ulama kharismatik di Aceh, seperti: almarhum Abu Tanoh
Mirah, almarhum Abu
Aziz (Abon Samalanga), Syeikh Abu Lam
Ateuk (Abu Mamplam Golek) dan almarhum Abu Ibrahim Woyla.
Sepulang dari Labuhan
Haji, Abu Tumin kemudian meneruskan kepemimpinan Dayah yang ditinggalkan oleh
orangtuanya, Tu Muda. Dayah yang kini memiliki nama lengkap Al-Madinatuddiniyah
Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen, Aceh.
Meski
berstatus Dayah Salafiah, tapi, ijazah tingkat akhir yang dikeluarkan
Al-Madinatuddiniyah Babussalam telah disetarakan setingkat dengan Aliyah (SMA)
berdasarkan surat keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bireuen.
“Kami
mendorong para santri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,”
ungkap beliau.
“Tapi dengan
tetap tidak melupakan ilmu iman yang diperolehnya di masa didik, karena itu
adalah seindah-indahnya ilmu. Landasan terbentuknya ideologi dan menjadi bekal
untuk terjun ke masyarakat.”
Al-Madinatuddiniyah
Babussalam adalah dayah salafiah pertama di Aceh yang mendorong para santrinya
untuk juga menuntut ilmu di sekolah formal.
“Kala itu beberapa
dayah salafiah lainnya masih terkesan tertutup dan agak sukar memberikan izin
kepada santri untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah formal.”
Kini, saat
bulan Ramadhan (puasa) tiba, ketika belajar mengajar diliburkan, banyak santri
dan masyarakat umum yang kemudian melakukan khalut di sana. Mensucikan diri
agar lebih dekat dengan Sang Pencipta; Allah SWT. (mardani malemi)