Tu Muhyen (keturunan ke-7 Tgk Syik Awe Geutah; memegang sandal peninggalan isteri Tgk. Syik Awe Geutah. |
Pintu gerbang komplek makam Tgk. Syik Awe Geutah. |
Balee Manyang; komplek makam Tgk. Syik Awe Geutah. |
Membaca silsilah Tgk. Syik Awe Geutah. FOTO: REPRO/Trang |
[BIREUEN |
Lorong itu mengingatkan kami akan istana-istana masa lalu di era kejayaan Aceh. Teman saya malah menyebutkannya seperti berjalan di lingkungan istana.
“Nyoe lagei ta keliling istana (ini seperti berkeliling istana),” kata Najib
Zakaria, staf redaksi Tabloid Trang yang menemani perjalanan ekspedisi saya
hari itu ke Gampong Awe Geutah.
Ya, itu adalah kompleks tempat tinggal Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi
atau yang lebih dikenal Tgk. Syik Awe Geutah. Umumnya, bila menyebut nama Tgk
Syik Awe Geutah, yang ada diingatan masyarakat adalah keberadaan rumah adat
asli Aceh yang telah berusia ratusan tahun.
Tapi, lebih dari itu, sebenarnya ada hal lainnya yang merupakan
peninggalan langsung Tgk. Syik Awe Geutah dan itu bisa anda lihat bila
berkunjung langsung ke sana.
Tgk. Muhyen Nufus atau yang lebih dikenal Tu Muhyen atau Tu Awe Geutah yang
merupakan keturunan ke-7 Tgk. Syik Awe
Geutah menuturkan, sebenarnya yang merupakan peninggalan langsung Tgk. Syik Awe
Geutah adalah Balee Manyang, Mon Khalut dan Balee Khalut.
Balee Manyang, pada masa Tgk. Syik Awe Geutah biasa digunakan sebagai balai pengajian. Sementara Mon Khalut punya cerita tersendiri yang cukup menarik. (baca: Mon Khalut dan Air Zamzam).
Berdasarkan literatur yang ada, Tgk Syik Awe Geutah dikisahkan sebagai
seorang ulama sufi asal Kan’an Gujarat (sekarang dikenal sebagai Negara Irak) dengan nama Syeikh
Abdurrahim Bawarith Asyi.
Perjalanannya Syeikh Abdurrahim
Bawarith Asyi hingga menetap di Aceh punya banyak
kisah. Berdasarkan penuturan Tu Awe Geutah, saat pergi meninggalkan kampung
halamannya, Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi ikut ditemani saudaranya yang lain dan kemudian dikenal dengan
nama Abu Tanoh Abe.
Sebelum sampai ke Aceh, mereka telah
terlebih dahulu singgah di beberapa tempat. Di antara yang pernah disinggahi
adalah kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia, hingga kemudian ke
Pulau Weh dan kemudian sampai ke Lamkabeu di Aceh daratan. Di sini, Syeikh
Abdurrahim Bawarith Asyi sempat menetap
beberapa saat.
Saudara kandung Syeikh Abdurrahim
Bawarith Asyi (kemudian dikenal dengan nama Abu Tanoh
Mirah) kemudian memilih menetap di sini dan membuka balai pengajian untuk
masyarakat sekitar. Sementara Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi terus melanjutkan perjalanannya.
Sumber-sumber yang diperoleh Trang
menyebutkan, Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi hijrah dari tanah kelahirannya karena di masa itu ada
pertentangan antar pemeluk agama Islam, terkait perbedaan khilafiyah.
Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi kemudian memilih hijrah Untuk menghindari perselisihan yang
bisa berujung pada perpecahan antar pemeluk agama Islam.
Untuk bisa sampai menemukan tempat
tinggal yang mana ia merasa aman dan nyaman di sana, dikisahkan, Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi sempat beberapa kali melakukan shalat Istikharah. Setiap
selesai shalat Istikharah tersebut, beliau naik ke atas sebuah bukit di Gle
Sibru (sekarang wilayah Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan) dan
menghadapkan pandangannya ke arah yang berbeda.
Malam pertama, Syeikh Abdurrahim
Bawarith Asyi menghadap ke arah Selatan, malam
berikutnya ke arah Barat, dan berikutnya lagi arah Utara. Namun tidak
ada petunjuk apa-apa yang beliau peroleh.
Baru pada malam keempat beliau mendapatkan
petunjukkan saat pandangannya dihadapkan ke arah Timur. Saat itu, matanya melihat
cahaya putih bersih menyembul dari suatu tempat. Beliaupun berkeyakinan, di
daerah asal cahaya putihh itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat
tinggal. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Awe Geutah, Kecamatan
Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen.
Banyak
kisah menarik lainnya dinukilkan Tu Awe Geutah, terutama tentang wasiat Tgk.
Syik Awe Geutah menjelang beliau meninggal. Saat itu, kepada keluarganya,
sebegaimana dituturkan Tu Awe Geutah, beliau berwasiat, “Menyeu ulon meninggal,
beuneupasoe peudeung ngen incin lam keureunda (apalabila saya meninggal,
masukkan cincin dan pedang ke dalam keranda).”
Warga
sekitar mempercayai wasiat itu punya hikmah tersendiri dan kemudian terjawab
saat anak Tgk. Syik Awe Geutah yang belajar ilmu agama ke Arab, Tgk. Syik
Muhammad Zein pulang setelah Tgk. Syik Awe Geutah meninggal.
“Wasiat
itu, hanya ditunaikan sebagian kala itu. Yaitu hanya cincin saja yang
dimasukkan ke keranda.”
Sepulang
Tgk. Syik Muhammad Zein dari Arab, hikmah itu baru diungkap, bahwa sekiranya
cincin dan pedang di masukkan ke keranda Tgk. Syik Awe Geutah, wilayah Aceh
tidak akan disinggahi oleh penjajah Belanda.
“Malah,
waktu itu keluarga menjadi heran saat melihat dijemari Tgk. Syik Muhammad Zein
terdapat cincin yang sama persis seperti yang dimasukkan ke keranda Tgk. Syik
Awe Geutah,” tutur Tu Awe Getah. Keturunan ke-7 Tgk. Syik Awe Geutah yang
merupakan pemuda berusia kepala tiga itu.
Kisah lainnya juga disebutkan bahwa sebagai bukti telah menaklukkan Aceh, Belanda
kemudian mengambil ulee rinyen (tangga) dan sebelah pinto rumoh Aceh (pintu
rumah Aceh) dari rumah yang merupakan peninggalan Tgk. Syik Awe Geutah untuk
dibawa pulang dan disimpan di meuseum Belanda.
Ulee rinyen dan pinto rumoh Aceh disebut-sebut hingga saat ini masih
tersimpan di meseum Belanda di Leiden.
Kini, komplek yang telah ditinggalkan Tgk. Syik Awe Geutah sejak 786 tahun
silam itu memang telah direnovasi pada Mei 2011, hingga kompleknya (sebagaimana
disebutkan kawan saya) menyerupai komplek istana.
Lihatlah, tamannya kini telah dipasang pavling blok, tempat duduknya
dibuat dengan menyerupai sandal isteri Tgk. Syik Awe Geutah. Sandal yang masih bisa kita saksikan tersimpan di
dalam rumoh Aceh (utama).
Dan, selain
sebuah rumah Aceh (rumoh utama) yang telah terlebih dahulu direnovasi. Di komplek itu juga terdapat tiga rumah Aceh lainnya
yang masih butuh renovasi. Terutama rumah yang berada dekat dengan pintu utama
komplek yang kini didiami Tu Awe Geutah.
Penulis: Mardani Malemi
Editor: Mardani Malemi*]
Penulis: Mardani Malemi
Editor: Mardani Malemi*]