Ekspedisiku di Blang Seupeueng. REPRO: Trang | Najib |
Angin mendesir dari arah
persawahan warga. Matahari menyengat di atas ubun-ubun kepala. Menusuk hingga
ke pori-pori kulit. Kami terus memacu kendaraan. Rekan saya memaksa untuk
menerobos beberapa lubang kecil jalan dengan kecepatan sedang. Memburu waktu.
Saya sendiri hampir menyerah.
Ekspedisi kami di siang
itu, Jumat (18/1/2013) adalah ikut serta merekam kembali jejak yang tertinggal
dari Kerajaan Islam Jeumpa, yang menurut sebagian peneliti, pendiri dari
Kerajaan Islam Jeumpa disebut-sebut adalah Cucunda Rasulullah Shahrianshah
Salman Al-Farisi. Di Aceh di kenal sebagai Salman al-Parsi, pangeran dari
Persia (Salman the Persian).
Pikiran saya waktu itu,
meski sudah mulai banyak dilirik oleh para peneliti dan penulis lainnya, saya
meyakini masih ada sisi-sisi yang belum terungkap dari Kerajaan yang dalam
versi lain disebut baru berdiri sekitar abad ke-13, saat sebagian besar
penduduk dan Raja Kerajaan Melayu Islam Champa di Vietnam bermigrasi ke Aceh
karena diserang oleh Kerajaan China.
“Jalan di depannya sudah mulai bagus,” tutur teman saya tanpa
memperlambat laju motornya. “Tapi… tunggu!” Ia menginjak rem motor secara
mendadak. Saya hampir tersungkur dibuatnya.
Saat itu kami melihat dua
warga duduk di pinggir jalan. Seorang kami taksir berumur lebih dari 60 tahun.
Seorang lainnya separuh dari itu. Perasaan hati menuntun untuk bertanya pada
dua warga tersebut.
Kalau tidak ingin
tersesat, kami memang mesti bertanya walau telah berbelok melalui simpang arah
kiri Jalan Medan-Banda Aceh, deretan pertokoan Blang Bladeh, ibukota Kecamatan
Jeumpa. Soalnya, tak ada penunjuk arah jalan ke Makam Raja Jeumpa di Gampong
Blang Seupeueng. Sebagaimana informasi awal
yang kami peroleh.
Syukur kami bertemu dengan
dua warga itu. Awalnya hanya bermaksud bertanya, tapi keduanya berbaik hati
mengantar kami ke rumah seorang peutuha (orang yang dituakan (di)) Blang Seupeueng yang tau banyak tentang sejarah Raja Jeumpa.
Namanya Muhammad Daud M
Thaib (72). Menurutnya, ketua Dewan Bireuen (Ridwan Muhmmad) menyapanya Bang
Ulee Cot; Ridwan Muhammad adalah mantan keuchik Blang Seupeueng. Sebutan itu karena tempat tinggalnya berada persis di
pinggir bukit (bahasa Aceh: cot) dengan ketinggian sekitar 10 meter. Di atas
bukit itu adalah tempat bersemayamnya jenazah Tgk. Cot Cibrek.
Muhammad Daud kini
mendiami rumah bantuan Pemerintah Aceh bertipe 36 plus. Bantuan yang layak
diberikan untuk seorang di antara ahli waris Raja Jeumpa. Ya, menurut pengakuan
Muhammad Daud, ia adalah keturunan ke-9 dari Raja Jeumpa. Kepada kami, ia hanya
ingat empat urutan silsilah di atasnya, yaitu: ayahnya M Taib, kemudian di
atasnya berturut-turut: Peutua Hanafiah, Keuchik Ben Cut, dan Keujruen Sarah.
Keujruen Sarah inilah yang diyakini mempunyai hubungan darah dengan Raja
Jeumpa.
Ia juga sempat bercerita
sedikit tentang sejarah Raja Jeumpa. Meski sudah beberapa kali membacanya dari
beragam literatur, tetap saja, menarik untuk mendengar cerita Raja Jeumpa dalam
bahasa Muhammad Daud. (Baca: Saat Pemuda Cirebon Melafazkan Iyya Ka Na’budu…).
Muhammad Daud meyakini
Kerajaan Jeumpa berdiri pada abad ke-13. Hal itupula yang kami lihat di papan yang
terpangpang di dalam meunasah Gampong Blang Seupeung.
Sebenarnya, menurut
pengakuan Muhammad Daud, keluarga mereka memiliki arakata Kerajaan Jeumpa. Arakata
yang ditulis dalam huruf jawi itu mulanya disimpan oleh saudara Muhammad Daud,
Imum Syik Muhammad Saleh. Namun, hilang saat konflik Aceh. “Ia (Imum Syik
Muhammad Saleh, Red) adalah mantan aktivis GAM,” ujarnya.
Pembicaraan kami kemudian
berlanjut pada sisa-sisa artefak (penginggalan sejarah) yang mungkin masih
tersisa dari Kerajaan Jeumpa. Ditemani isteri dan cucunya, Muhammad Daud
kemudian bercerita tentang beberapa temuan saat salah satu bukit di sisi rumah
mereka menetap sekarang di keruk dengan alat berat.
“Ada pecahan kaca yang
mungkin adalah piring atau peralatan/hiasan lainnya,” ujar Muhammad Daud. Saat
diperlihatkan oleh isterinya kepada kami, sekilas benda berwarna putih bening
sebesar telapak tangan orang dewasa itu berbentuk batu. Tapi, kalau sudah
dipegang, sangat terasa ketajamannya. Benda itu sendiri kini memang tak
benbentuk lagi. Ia layaknya bongkahan biasa.
Muhammad Daud pun tak
mempersoalkan bila ada yang mengatakan itu adalah bongkahan batu biasa. Namun, ia tetap meyakini bahwa itu adalah
bukti bahwa Blang Seupeung dulunya adalah pusat (bandar) Kerajaan Jeumpa dengan
penduduknya yang sangat padat.
Ia menyebut, benda-benda
seperti itu banyak ditemukan saat pengerukan bukit. Namun, karena minimnya
pemahaman warga akan sejarah nenek moyangnya dulu, membuat benda-benda seperti
itu dibiarkan begitu saja.
“Malah kami juga
menemukan karung-karung beras yang sudah hitam,” pungkasnya. “Tapi, nasibnya
juga sama.”
“Nyan keuh bak hana roh meusimpan (dulu tidak terpikir untuk
menyimpannya; dibiarkan begitu saja),” isteri Muhammad Daud yang sedang
bersenda gurau dengan cucunya ikut membenarkan temuan itu.
Tak hanya itu, Muhammad
Daud juga becerita tentang pengalamannya menggali sumur. Saat itu, ia menemukan
banyak kayu sebelum mencapai titik mata air. Tak hanya ia saja, Muhammad Daud
juga menyebut, warga lainnya di Gampong Blang Seupeueng pun menemukan hal serupa saat
menggali sumur mereka.
Hasil observasi dari peneliti lain
sebelumnya malah telah menemukan beragam artefak lainnya, seperti kolam mandi
kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam
cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar
gelang tangan. Artefak itu ditemukan di dekat makam Raja
Jeumpa. (mardani malemi)