Menyerahkan piala untuk murid Madrasah Ibtidaiyah, pemenang lomba menulis surat "Andai Aku Menjadi Menteri Agama." Meski bukan guru, tapi di dalam tubuhku mengalir darah seorang guru. |
[Refleksi di hari guru]
Guru,
saat kami dahaga
engkau datang,
memberi kami air ilmu pengetahuan.
Bila dulu profesimu seakan tersisih,
kini engkau menjadi rembulan.
Tapi bagi kami dari dulu hingga sekarang,
atau kapan saja engkau adalah rembulan.
Rembulan di hati dan jiwa kami.
Dan, siapa
sekarang yang ingin mengatakan profesi guru adalah profesi nomor dua. Berada di
kasta berikutnya setelah kasta-kasta lainnya? Rasanya hal itu seakan
terbantahkan kini sudah.
Zaman kini memang
telah berbalik. Pemahaman dan penghargaan orang terhadap profesi seorang guru
juga telah berubah. Lihatlah sekarang, bagaimana anak-anak teknik malah
mengambil akta IV setelah menyelesaikan kuliah keteknikannya. Harapannya
apalagi, ingin menjadi guru.
Guru, dari dulu
sampai sekarang memang selalu memberi warna bagi kehidupan kita. Sebagai
seorang anak yang terlahir dari rahim seorang guru, saya bisa merasakan,
bagaimana dedikasi dan kerja-kerja seorang guru itu tidak pernah habisnya.
Bahkan saya masih ingat saat ibu saya (karena lelahnya beliau), meminta bantu
kepada kami, anak-anaknya untuk ikut menulis rapor murid-muridnya yang mencapai
puluhan.
Belum lagi,
beliau harus senantiasa belajar dan membaca untuk menambah wawasannya, agar apa
yang disampaikan kepada anak didiknya nanti merupakan ilmu-ilmu yang
berkualitas. Padahal, gajinya saat itu belumlah seberapa. Belum ada sertifikasi
seperti saat ini
Saya bisa
merasakan, terkadang mata ibu lelah. Tapi, karena niatnya yang tulus ikhlas,
saya pun bisa tau ibu tidak pernah memajamkan matanya saat ada ilmu pengetahuan
baru yang belum ia ketahui, tapi harus ia ketahui untuk disampaikan kepada
murid-muridnya.
Tapi,
Alhamdulillah, sekarang ini guru-guru kami punya sedikit suplemen agar mata
mereka tidak lelah. Suplemen itu bernama ”Sertifikasi Guru”.
0 Komentar