Iklan

Bahasa Tubuh (dari kisah nyata)




Bahasa tubuhnya menyuruhku merapatkan saf kedua di sebelah kiri imam. Ia yang akan menutupnya. Tapi saya menolak. Juga dengan bahasa tubuh. Ia tetap dengan bahasa tubuh yang sama. Saya kembali menolaknya. Juga memakai bahasa tubuh yang sama. Lagi-lagi ia dengan bahasa tubuh itu. Saya akhirnya mengambil sikap. Minggir dan merapatkan saf di sebelah kanan imam. Saya merasa menang dan shalat seperti biasa. Tidak juga melirik lagi ke arahnya.

Ashar, Selasa (18/9/2012) di Meunasah (mushala) Kota Bireuen itu saya punya alasan tersendiri menolak merapatkan saf di sebelah kiri imam. Melindungi harta benda. Tas Swiss Polo hitam berisikan laptop dan berkas-berkas penting lainnya. Merapatkan saf di sebelah kiri berarti saya harus jauh dengan tiang penyangga meunasah. Tempat dimana saya bisa meletakkan tas. Penglihatan saya tidak akan sampai ke sana. Setidaknya saya butuh seorang jamaah lagi agar penglihatan saya sampai pada tiang penyangga tersebut. Saya takut tas saya ter(di)curi.




Saya lalu melihat kesempatan itu ada di saf sebelah kanan. Satu, dua, tiga, dan empat rakaat shalat Ashar selesai. Tas saya aman. Tidak (ter)curi atau (di)curi sebagaimana pengalaman yang pernah saya dapatkan di Meunasah Kulah Bate. Juga di Kota Bireuen. saya terkejut. Maghrib yang saya tak ingat lagi tanggal dan bulannya, kecuali tahunnya, juga 2012, tas Swiss Polo saya tiba-tiba menghilang setelah saya selesai salam. Saya menduga (di)curi. Ternyata dipindahkan oleh jamaah lainnya agar tidak mengganggu kekhusyukan orang lain shalat.

Kembali ke cerita Meunasah Kota. Tak ada shalawat usai salam. Sebagaimana umumnya dipraktekkan kaum Ahlussunnahwaljamaah di Aceh. Kesempatan yang kemudian saya manfaatkan untuk berdoa secara individual.

Doa selesai. Para jamaah lainnya sudah lebih dulu meninggalkan meunasah. Saya masih larut dalam perenungan. Mood saya tidak lagi bagus sore hari itu. Saya merasa sedang “kalah.” Oleh seseorang. Makanya saya ingin merasa “menang” dikesempatan lain. Ironi memang. Itu saya bawa hingga saat akan shalat. Media interaksi manusia dengan Tuhannya (Allah Swt).

Merasa “menang” dikesempatan itu, saya akhirnya berdiri. Beranjak hendak meninggalkan meunasah. Tapi pandangan saya seperti dipalingkan. Ke suatu objek. Siapa? Ia yang memberi bahasa tubuh kepada saya untuk merapatkan saf di sebelah kiri imam tadi.  

“Subhanallah…!” Saya seperti ditegur langsung oleh Allah Swt. Ditampar dengan sangat dikeras. Bukan di pipi. Ditendang hingga menjungkal.  Bukan di ulu hati. Tapi di(hati)dada.  

Taukah siapa ia yang tadi memintaku dengan bahasa tubuhnya? Subhanallah…! Allah Swt memberi kelebihan kepada setiap makhluk ciptaannya. Ia seorang –maaf— “keterbelakangan” mental. 

Subhanallah…!

Maka, hari itu aku benar-benar kalah. Sifat egoku, karena telah mengedepankan nafsu telah membuat mentalku lebih “terbelakang” dari mereka-mereka yang “keterbelakangan” mental.


Dan, akalku yang tercipta fitrah (suci) oleh Tuhanku (Allah Swt) benar-benar menyuruhku untuk  berpikir. Aku tidak konsen untuk melakukan apapun sebelum aku meminta maaf kepadanya. Tapi ingatanku tidak cukup untuk membuatku mengenali lagi raut wajahnya.  

Sore itu, padahal aku keluar rumah dengan segudang agenda: ke dewan, rapat, and soon urusan duniawi. Akhirnya aku memutuskan singgah ke warung kopi. 88. Tidak akan beranjak sebelum menyelesaikan tulisan ini. Menyelesaikan pergolakan bathinku melalui tulisan ini. Karena aku merasa bisa terobati dengan ini. Sebagai permintaan maafku kepada ia yang “keterbelakangan” mental. Teristimewa kepada seseorang yang telah “mengalahkanku.” Bukan untuk apa-apa. Tapi untuk kebaikanku sendiri.

Jangan lagi mengedepankan nafsumu. Sebelum Tuhan (Allah Swt) menegurmu dengan teguran yang lebih keras. Subhanallah…! Kupinta ampunku kepadamu Tuhan. Dan kepada makhluk yang engkau ciptakan dengan hati yang lemah lembut.

Bireuen,  18 September 2012.
Menyelesaikan tulisan tepat pukul 16.56 Wib.        
Reactions