Iklan

Stress, Pemilukada dan Perempuan Aceh

Oktober 2011, berdasarkan laporan UNFPA, penduduk dunia telah mencapai 7 miliar. Tantanganpun akan semakin bertambah. Termasuk bagi penduduk Indonesia dan Aceh secara khusus.

Oleh: Mardani Malemi

“Dari mana?” Wakil Presiden RI, Boediono menyapa hangat saat tangan saya menyentuh tangannya. Saat itu, Rabu (13/7) lalu, dalam kapasitas sebagai seorang penulis, saya hadir di istana Wakil Presiden, Jakarta untuk memperingati Hari Kependudukan Dunia.

“Aceh.” Saya hanya menjawab singkat. Ingin rasanya berdialog lebih lanjut dengan Wapres, tapi di belakang saya masih ada puluhan undangan lainnya yang juga mengantri untuk bisa berdialog singkat dan berjabat tangan dengan Wapres. Kami yang sebelum memasuki istana Wapres harus melewati pemeriksaan ketat. Melewati metal detector dan pemeriksaan para pengawal Wapres. Bahkan harus menanggalkan kamera karena tak diizinkan di bawa ke ruang pertemuan.


Tapi bukan itu masalahnya. Disamping Wapres berdiri Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar. Saya sempat melirik ke arah Mendagri yang sempat ‘dikejar-kejar’ anggota dewan dan politikus Aceh terkait polemik Qanun Pemilukada Aceh 2011. Terutama karena perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif terkait dengan pasal bakal calon perseorangan. Hingga berimbas pada desakan penundaan Pemilukada.

Sebagai seorang pejabat publik, saya melihat Mendagri ikut menebar senyum ke arah saya. Tapi, sebagai penulis, naluri saya mengatakan ada senyum ‘berbeda’ dari seorang Mendagri kepada saya dan dua kawan saya lainnya yang sama-sama hadir sebagai peserta dari Aceh, dibanding senyum kepada peserta dari daerah lainnya. Saat itu saya hadir bersama Kasie Advokasi dan KIE BKKBN Aceh Faridah SE MM dan Direktur Eksekutif CCDE Tabrani Yunis. Sebuah LSM yang juga menerbitkan majalah Potret yang khusus mengangkat isu-isu perempuan dan jender.

Naluri saya sebagai penulis sebenarnya sudah sangat menggebu untuk bertanya banyak hal kepada Mendagri, termasuk soal ‘nasib’ Pemilukda Aceh 2011, tapi ketatnya protokoler membuat saya juga tidak punya waktu banyak. Selain hanya berjabat tangan dan menebar seutas senyum.

“Kecewa? Pasti!” Sebagai seorang penulis, pastinya saya lebih memilih bisa bertanya jawab dengannya, tanpa harus berjabat tangan. Tapi, ada satu hal yang kemudian menyelinap di benak saya, kehilangan satu momen saja ternyata bisa membuat seseorang sulit berkonsentrasi.

Tapi, konsentrasi saya bisa sedikit teratasi saat mendengar pemaparan materi “Strategi Pemerintah dalam Pencapaian MDGs” oleh Nila Farid Moeloek, Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals di Hotel Borobudur pasca seremoni peringatan Hari Kependudukan Dunia. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, dalam paparannya, Nila ikut menyodorkan data yang menempatkan Disparitas (perbedaan) Peringkat Stress di Provinsi Aceh ternyata masih cukup tinggi, 14,1 persen, padahal Disparitas Peringkat Stress Indonesia secara keseluruhan hanya 11,6 persen. Tertinggi adalah Provinsi Jawa Barat 20,0 persen, dan sedikit di atas Aceh adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 16,0 persen.

Saya ikut menganalisa apa yang membuat penduduk Aceh memiliki tingkat stress lebih tinggi dari rata-rata nasional? Padahal, sumber stress utama (konflik) sudah tidak ada lagi.

Dalam paparannya lebih lanjut, Nila menyebutkan, pengangguran (tidak bekerja), ibu rumah tangga, dan petani/nelayan/buruh memiliki tingkat stress yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang yang bekerja atau bekerja di sektor formal.

Bayangkan, pengangguran memiliki tingkat stress hingga 19,6 persen dan ibu rumah tangga 13,4 persen. Sementara buruh 11,2 persen. Bandingkan dengan orang yang bekerja di sektor formal, seperti pegawai, dengan tingkat stress 6,3 persen.

Faktor pekerjaan atau rutinitas memang tidak bisa dijadikan tolak ukur satu-satunya dalam menilai tingkat stress seseorang. Masih ada beberapa faktor lainnya, misalnya, faktor keseimbangan/dukungan pasangan hidup atau keluarga bagi orang yang belum menikah. Termasuk juga faktor lingkungan pergaulan dan kepastian dalam bidang ekonomi, hukum, politik, dan sosial yang mencakup pendidikan, kesehatan, dan kenyamanan beribadah.

Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dengan jumlah penduduk sekitar 4,6 juta jiwa, jumlah penduduk Aceh yang tidak bekerja mencapai 171 ribu orang.

Banyak hal yang menjadi tolak ukur bagi kita mengapa sebenarnya masih banyak dari penduduk Aceh yang menganggur. Salah satunya adalah indeks pembangunan sumber daya manusia (SDM) Aceh (berdasarkan survei 2009) yang ternyata juga masih berada di bawah rata-rata nasional, meski dalam hal pembangunan indeks SDM, Aceh berada diposisi ke-17 dari 33 provinsi di Indonesia.

Disisi lain, BKKBN sendiri yang melakukan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) mencatat, keluarga berpendidikan rendah cenderung memiliki lebih banyak anak dibandingkan dengan keluarga berpendidikan tinggi. Meski hanya dilakukan dengan metode acak, tapi survei ini patut menjadi acuan bagi kita karena sampel yang diambil adalah dari beberapa daerah yang dianggap mewakili status/kelompok tertentu di Aceh.

Dengan tidak bermaksud menafikan pola didikan anak-anak di keluarga berpendidikan rendah, tapi, dengan survei ini patut hendaknya bagi kita untuk lebih memperhatikan kelompok masyarakat dari kelas ini. Terlebih ada kecenderungan penduduk dengan pendidikan lebih rendah hidup dalam kemiskinan. Maka, dengan beban yang lebih besar (lebih banyak anak), ada kecenderungan anak-anak mereka juga kurang mendapatkan pendidikan yang layak. Imbasnya, tentu saja akan menciptakan penduduk besar yang tidak berkualitas. Penduduk tidak berkualitas tentu saja akan menjadi beban pembangunan.

Sebaliknya, keluarga yang berpendidikan tinggi akan lebih leluasa mengatur dan merencanakan pendidikan anak-anak mereka. Outputnya tentu akan menciptakan generasi bangsa berkualitas yang akan menjadi modal pembangunan. Teori ini juga dipaparkan oleh Nila dalam presentasinya.

Ada fakta menarik lainnya yang juga disebutkan dalam seminar Hari Kependudukan Dunia di Hotel Borobudur, ternyata bila dibandingkan dengan Singapura, angka kematian bayi di Indonesia masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negeri Singa itu. Bayangkan, angka kematian bayi di Indonesia masih pada angka 34/1000 kelahiran hidup. Sementara di Singapura hanya 2/1000 kelahiran hidup.

Sebelumnya, Wakil Presiden Boediono dalam pembukaan seminar dan peluncuran kampanye “Dunia dengan Penduduk 7 Miliar” memberikan dua penekanannya terhadap pertumbuhan penduduk dunia yang terus melesat tajam.

Pertama, Wapres mendorong pemanfaatan tekhnologi, terutama tekhnologi pangan agar ketersediaan pangan dapat seimbang dengan pertumbuhan penduduk.

Kedua, diperlukan reformasi institusi atau birokrasi yang mampu melahirkan cara-cara baru untuk mengorganisir kebutuhan hidup manusia. Wapres juga memberi penekanan lain agar para menteri tidak membuat target sendiri-sendiri, tapi harus saling bersinergi pada program yang dijalankan. “Muara terbaik dari setiap program adalah yang mempunyai kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Disisi lain, Boediono juga mengingatkan tentang falsafah, “Rumah tangga baik, maka masyarakat juga akan baik.” Seterusnya kita sendiri dapat melanjutkan bahwa bila masyarakat baik, maka negeranya juga akan menjadi baik. Maka, inti dari pembangunan bangsa yang baik adalah membina keluarga menjadi baik.

Pemilukada dan Perempuan
Perbedaan pendapat elit politik Aceh menjelang Pemilukada sedikit tidaknya akan menyedot perhatian publik. Dengan sendirinya masyarakat akan bertanya-tanya tentang masa depannya. Bagaimanapun, terlepas dari pesimisme yang ada, masyarakat masih sangat mengantungkan harapan hidupnya kepada pemimpin mereka. Terutama keseriusan pemerintah mendatang dalam berinvestasi di bidang keamanan, ekonomi, hukum, politik, dan sosial yang mencakup bidang kesehatan, pendidikan, dan kenyamanan beribadah.

Kekhawatiran mendalam tentu dirasakan oleh masyarakat pinggiran. Bagaimanapun mereka khawatir, perbedaan pendapat elit politik Aceh akan menyeret perbedaan pendapat atau bahkan gesekan di tingkat arus bawah pendukung elit. Provokasi bukan tidak mungkin akan terjadi. Dan, perempuan lagi-lagi akan menjadi pihak yang paling dirugikan karena harus menanggung beban hidup anggota keluarga lebih besar dari laki-laki.

Hal ini setidaknya sejalan dengan paparan Nila yang menyebutkan persentase peringkat stress berdasarkan jenis kelamin menempatkan perempuan lebih rentan atas stress dengan 14 persen dibandingkan laki-laki yang hanya 9 persen.

Bahkan UNFPA dalam laporannya menyongsong penduduk dunia ke-7 miliar pada Oktober tahun ini menyebutkan bahwa sekitar sepertiga dari pertumbuhan ekonomi utama di Asia Timur antara tahun 1965 dan 1990 terjadi karena ‘deviden demografi’, lonjakan produktivitas yang diikuti investasi pemerintah dalam bidang kesehatan dan pendidikan, terutama bagi perempuan. Jumlah anggota keluarga menurun dan penduduk usia kerja meningkat, sehingga beban ketergantungan menurun.

UNFPA juga mencatat bahwa negara-negara termiskin di dunia adalah negara yang mendiskriminasikan perempuan, mengesampingkan setengah dari produktivitas penduduknya. Berdasarkan urutan PBB, 10 negara pada peringkat bawah dalam hal kesetaraan gender adalah Kamerun, Pantai Gading, Liberia, Republik Afrika Tengah, Papua New Guinea, Afghanistan, Mali, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, dan Yaman.

Maka, sangat penting bagi kita untuk menghargai perempuan bila bangsa Indonesia dan Aceh ingin maju. Meminimalisir tingkat stress ibu-ibu rumah tangga di Aceh, mengusahakan lapangan pekerjaan yang layak bagi pengangguran, bersikap santun, sekaligus menghindari perbedaan pendapat yang meruncing di tingkat elit yang berpotensi menimbulkan gesekan di tingkat massa pendukung masing-masing elit itu sendiri.

Yang pasti, seperti dikatakan Wapres Boediono, kita tidak boleh santai, karena dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, tantangan yang dihadapi juga jauh lebih komplek. Terlebih, Oktober 2011 nanti kita akan menyongsong lahirnya bayi yang ke-7 miliar.(*)
Reactions