Iklan

Memaafkan dari Aceh ...

“… bagaimana cara orang Aceh bisa memaafkan kezhaliman yang menimpa mereka disaat konflik. Saya pernah berada di sana ketika intensitas konflik meningkat tajam, dan saya bisa merasakan bagaimana kepedihan yang mendera masyarakat Aceh. Mungkin saya sendiri sulit melupakan itu. Apalagi untuk memaafkannya.”

Jelas saya terkejut mendengar pernyataan itu. Pernyataan yang secara tiba-tiba menyeruak pada bedah novel saya, “Jiwa yang Termaafkan” –diterbitkan Republika Penerbit— beberapa waktu lalu di Istora Senayan, Jakarta. Novel saya secara khusus memang menguak sisi lain dari ekses konflik Aceh. Sebuah memoar yang pernah saya alami di waktu kecil dan berdampak pada perasaan traumatik yang saya derita hingga sekarang.

Saat itu, saya hampir tak punya kata-kata untuk menjawab pernyataan jujur dari seorang Bapak itu. Hingga akhirnya saya menemukan kalimat yang saya anggap cocok untuk menjawabnya.

“Orang Aceh akan mudah tersentuh dengan kata-kata dan perilaku lemah lebut, dan juga akan cepat terbakar dengan kata-kata dan perlakukan kasar.”

Ketika itu, saya memang tidak bisa menjawab lebih detail. Dan, saya merasa, saat inilah waktu yang tepat untuk meng-analogi-kan jawaban saya itu.

Saya ingin merujuk pada sejarah perselisihan Soekarno dan Tgk Daud Beureueh yang memang ikut tersebut di dalam novel saya itu. Tgk Daud Beureueh dan pengikutnya begitu mudah luluh saat mendengar kata-kata lembut yang diwarnai isak tangis di hadapan Tgk Daud Beureueh.

“Wallah billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam. Apakah Kakak masih ragu?”

Soekarnoe malah memanggil Tgk Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” untuk membujuk rakyat Aceh membantu perjuangan kemerdekaan RI. Dan, sejak saat itupula, Tgk Daud Beureueh dan pengikutnya langsung luluh dan menyatakan kesediaannya.

Rakyat Aceh pun mempertaruhkan segalanya. Tidak hanya laki-laki, bahkan para perempuan ikut menyumbang perhiasan yang mereka punya untuk membeli pesawat yang kemudian menjadi cikal bakal industri penerbangan Indonesia.

Tapi janji yang diucapkan Soekarno dengan isak tangis itu tidak ditandai dengan perilaku nyata yang merefleksikan ucapannya. Dalih-dalih menempati janji, Soekarno malah meleburkan Provinsi Aceh ke dalam wilayah Sumatera Utara. Ironinya lagi, hal itu dilakukan saat Tgk Daud Beureueh menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh yang pertama.

Tapi, bujukan kemudian datang lagi. Ucapan-ucapan lemah lembut dan sedikit langkah nyata membuat Tgk Daud Beureueh kembali memaafkan Jakarta, setelah sebelumnya bergabung bersama Karto Soewiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Sejak itupula, Aceh kembali menjadi provinsi otonom dengan status daerah istimewa.

Hal yang sama juga terjadi saat timbulnya pemberontakan GAM. Kata-kata dan perlakuan kasar (termasuk di dalamnya ketidakadilan) menjadi penyulut utama.

Meski kemudian menelan puluhan ribu korban jiwa dan ratusan lainnya menderita traumatik, terbukti, di Aceh, konflik itu hanya mampu diselesaikan dengan pendekatan yang lembut. Secara kata-kata dan perilaku.
Kata-kata kemudian diterjemahkan dalam nota kesepahaman bersama (MoU) Helsinki dan perilaku diterjemahkan melalui langkah nyata dan tegas. Eksekusi di lapangan. Seperti pemberian dana Otonomi Khusus (Otsus) dan dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam cair. Termasuk pemilihan kepala daerah secara independen. (Kemudian banyak dimenangkan oleh eks. GAM).

Eksekusi di lapangan memang belum selesai 100 persen. Masih ada perselisihan pemahaman antara pusat dan Aceh dalam menerjemahkan beberapa poin Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai turunan MoU Helsinki. Namun, yang patut diapresiasi adalah, kata-kata dan perilaku lembut telah dikedepankan.
Bagi saya, tinjauan sejarah itu bukan bermaksud mencari siapa yang patut disalahkan. Tapi, bagaimana agar sejarah pahit itu tidak berulang kembali untuk kesekian kalinya. Seperti yang pernah beberapa kali menimpa Aceh.

Rakyat Aceh adalah tipikal orang yang mudah memaafkan. Tapi juga sebaliknya, bisa tiba-tiba menjadi pemarah. Pertanyaannya adalah kenapa bisa memaafkan? Bagi saya, hal itu bisa dilihat dari simbol kehidupan orang Aceh, atau Rumoh (rumah) Aceh. Saya juga menulisnya di novel, “Jiwa yang Termaafkan”. Meski kini, untuk melihat rumah Aceh kita harus ke desa-desa pedalaman.

Seyogiayanya, rumah Aceh dibangun dengan menghadap ke arah kiblat umat Islam, atau agama yang mayoritas dianut oleh penduduk Aceh. Namun, membangun rumah dengan menghadap ke arah kiblat tidaklah berarti orang Aceh berada pada jargon agama simbolik.

Rumah dengan menghadap ke arah kiblat semata-mata untuk memudahkan rutinitas substansi keagamaan, shalat berjamaah, yang merefleksikan hubungan baik dengan Tuhan dan antar sesama manusia.

Dua kekuatan inilah yang membuat orang-orang Aceh bisa lebih cepat berlapang dada atas musibah-musibah masa lalu (konflik dan tsunami). Apalagi, secara terminologi logika dan keilmuan, hubungan baik dengan Tuhan sama dengan meditasi yang membuat saraf-saraf di otak dan tubuh kita menjadi rileks.

Terminologi keilmuan pun menyatakan, meniatkan memaafkan sudah mengurangi rasa sesak di dada. Daripada tidak meniatkan memaafkan sama sekali. Apalagi sampai tidak memaafkannya.

Rumah Aceh juga tidak dibangun dengan sekat-sekat privasi. Hanya ada satu kamar untuk mempelai pria dan wanita. Satu seramoe (serambi) depan dan serambi belakang. Serambi-serambi ini biasanya juga digunakan sebagai tempat tidur dan tempat menerima tamu. Anak laki-laki biasanya akan tidur di serambi depan dan anak perempuan di serambi belakang. Di sini, pendahulu orang Aceh mengajarkan betapa komunikasi sambil tidur (informal) yang rileks, tapi menyentuh kepada substansi dasar kehidupan itu sangat diperlukan.

Citra bagi orang Aceh memang diperlukan. Tapi bukan citra yang dibangun atas retorika-retorika kaku (formal), atau tidak tegas dalam mengambil sikap atas suatu masalah, karena takut citra formalnya tercoreng. Citra seharusnya dibangun atas prinsip membiasakan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa.
Maka, akhirnya, kekerasan jangan lagi dibiarkan membudaya untuk sebuah citra, karena budaya tidak membutuhkan kekerasan, tapi budaya memerlukan kata maaf untuk membentuk citra. Dan, Aceh telah memaafkan untuk kesekian kalinya …. (*)
Reactions