Iklan

Terabaikan di Bandara, Terseok Dilubang Trotoar Jalan

HAK-HAK kaum para penyandang cacat masih sering terabaikan. Lebih banyak pahit daripada manis yang diterima saat berinteraksi dengan publik, meski pascatsunami jumlahnya makin bertambah. Merekapun, akhirnya berjuang untuk bisa mengakses fasilitas publik. Ikuti kisahnya!

Erlina Marlinda (28), seorang penyandang cacat di kota berjuluk Serambi Mekkah kecewa. Pengalaman pertamanya melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang harus diawali dengan perasaan tak mengenakkan. Hari itu dia bersama beberapa rekannya hendak terbang ke Yogyakarta via Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh.


“Saat akan naik ke pesawat saya harus mengalah dari orang normal lainnya. Saat menunggu itulah, saya ditaruh hampir ke bawah badan pesawat oleh petugas. Perasaan saya miris sekali,” kata Erlin, sapaan akrab Erlina Marlinda mengawali ceritanya kepada koran ini yang mengungjunginya kemarin. “Apa karena saya pengguna kursi roda?” tanyanya.

Lima bersaudara warga Lamteumen Timur, Banda Aceh ini mengisahkan, meski pergi bersama beberapa rekannya, dia memilih untuk mendahului mereka karena ingin menikmati kemandiriannya. Menurut yang didengar-dengar olehnya, kenyamanan pelayanan petugas Bandara dan kru pesawat lebih ramah dari para petugas terminal dan kernet bus ataupun labi-labi (angkot).

“Saat tiba didepan tangga pesawat, para kru pesawat dan petugas Bandara malah bertanya mana keluarga anda?” ungkap Erlin. Saat pergi dari ruang tunggu, Erlin mengayuh sendiri kursi roda milik Bandara dengan tangan-tangan kecilnya. Selain menderita kelumpuhan sejak kelas tiga SMP, jari-jari tangan Erlin juga mengalami pengecilan.

“Saya balik bertanya, apa perlu saya suruh semua keluarga saya untuk masuk kemari dan mengangkat saya?” ujarnya sambil menunjuk kearah tempat keluarganya berkumpul diluar pagar landasan pacu pesawat.

Anak ketiga yang dulu pernah menetap di Bengkulu hingga tamat SMP ini paham benar tentang hak-hak seorang penyandang cacat seperti dirinya. Dia pindah ke Banda Aceh pada Juni tahun 1999. Saat ini Erlin telah bekerja sebagai seorang staf di Handicap Internasional, sebuah LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional yang konsern terhadap isu-isu para penyandang cacat.

Ditantang demikian, para petugas Bandara dan kru sebuah pesawat komersial milik maskapai penerbangan swasta itupun kemudian mengalah, apalagi setelah bos Erlin di Handicap, yang seorang bule datang dan bertanya, “kok masih dibawah?”

“Waktu itu, bos saya menunggu hingga pramugari mau mengangkat diri saya kedalam pesawat,” imbuhnya.

Erlin kemudian memang diangkat oleh petugas Bandara dan kru pesawat, tapi putri dari pasangan almarhum Zamzami dan Siti Rahmah ini masih harus menelan “pil pahit’. Soalnya, dia hanya diletakkan begitu saja dibagian ekor pesawat dan lagi-lagi diabaikan keberadaannya. “Akhirnya, bos saya sendiri yang membopong saya sendirian hingga ketempat duduk,” cerita dia. Rekan-rekan Erlin baru datang beberapa saat kemudian. Mereka kesal mendengar cerita Erlin dan malah menyatakan ingin melaporkan hal itu ke pihak manajemen Bandara, tapi dilarang Erlin.

“Saya dengar Bandara kita di Aceh ini sedang direhab, mudah-mudahan bisa memperhatikan kenyamanan para penyandang cacat seperti saya ini. Kalau boleh menyarankan, sebaiknya menyediakan belalai yang tersambung langsung ke bagian pesawat seperti di Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Jakarta,” sarannya.

Erlin memang mendapatkan pelayanan yang baik di Bandara utama di nusantara ini, yakni Bandara Internasional Soekarno Hatta. “Petugas Bandara disana sepertinya sudah sangat siap dengan kaum seperti saya. Saat diinformasikan oleh kru pesawat, petugas Bandara langsung datang dengan kursi roda. Jadi, di Jakarta untuk turun pesawat tidak pakai tangga, tapi corong seperti jembatan yang menghubungkan pesawat hingga ke ruang tunggu. Itu Bandara benar-benar aksesibel,” jelasnya.

Pelayanan yang ramah dan nyaman juga diterima Erlin di Bandara Internasional Adi Sucipto, Yogyakarta. Hal itulah yang membuat perempuan yang juga pernah tinggal di Padang, Sumatera Barat dari tahun 1994 hingga 1999 ini merasakan kekecewaan yang mendalam karena tidak diperhatikan ditanah kelahirannya sendiri.

“Di Yogyakarta, petugas Bandara dan kru pesawat seperti sudah familiar dengan orang seperti saya, walaupun tidak mempunyai fasilitas seperti di Jakarta. Tapi, mereka memperhatikan dan memenuhi segala kebutuhan saya,” ujarnya.

Ketidak aksesibilitas-an fasilitas publik di Kota Banda Aceh juga dirasakan Aflinda (30), seorang tuna netra. “Saya sering berbelanja ke pasar Aceh dan setiap saat selalu terperosok karena trotoar yang dibuat tidak rata,” ujarnya.

Tidak hanya merasakan ketidaknyamanan di Pasar Aceh, Ketua Ikatan Wanita Penyandang Cacat Indonesia Kota Banda Aceh ini juga merasakan ketidak keleluasaan saat melintasi jalanan umum dan fasilitas-fasilitas publik lainnya. “Trotoar jalan masih dibuat dengan tanpa memperhatikan pejalanan kaki dan para penyandang cacat,” urainya.

Dia juga menngkritik fasilitas sentral lainnya, seperti pusat perbelanjaan, taman bermain, kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, dan bahkan masjid. “Seharusnya setelah Aceh menerapkan syariat Islam, masjid harus dibuat dengan memenuhi kadar aksesibilitas. Kenyataannya banyak masjid tidak akses bagi pengguna kursi roda. Pusat-pusat perbelanjaan dan kantor pemerintah juga sama halnya,” ujar Aflinda.

Accessibility Project Manager Handicap Internasional, Dino Argianto mengatakan, kalau ingin menciptakan suatu kota yang aksesibilitas bagi semua, maka tidak bisa hanya diharapkan dari masyarakat atau penyandang cacatnya saja. Tapi, sangat dibutuhkan peran serta dari pemerintah dan sektor swasta.

“Didukung Swiss Carity, Handicap telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan pemerintah daerah, termasuk Pak Walikota Banda Aceh, sendiri. Alhamdulillah tanggapannya sangat positif,” katanya.

Handicap juga telah meluncurkan kampaye aksesibilitas semenjak 22 Agustus hingga 31 Desember untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta tentang aksesibilitas. “Kampanye itu juga mencakup audit atas bangunan, apakah aksesibel atau tidak. Sejauh ini telah ada 160 bangunan yang diaudit,” sebutnya.

Dari 160 bangunan yang diaudit tersebut, tambah dia, ada yang memenuhi kadar aksesibilitas dan tidak. Kecuali itu, terdapat bangunan yang memiliki ram, tapi sudut kemiringannya sangat terjal, sehingga tidak layak digunakan.

Dino mencontohkan untuk fasilitas rumah sakit yang menjadi titik sentral pelayanan kesehatan bagi masyarakat. “Ada rumah sakit di yang akses dan tidak,” sebut dia.

Suatu bangunan dikatakan akses atau tidak sebenarnya sangatlah sederhana, seperti diungkapkan Dino, yakni mudah dimasuki, mudah untuk bersikulasi dan bergerak didalamnya, fasilitasnya bisa difungsikan dan mudah dicapai, serta bisa keluar dengan aman dan nyaman.

“Kalau ada ram, sudut kemiringannya harus diperhatikan. Bila menggunakan tangga, sebaiknya ramah dan lebar. Aksesibilitas suatu bangunan juga dapat diukur dari kemudahan menghindar dari bencana yang terjadi, misalnya gempa dan kebakaran,” imbuhnya.

Dino mengakui bahwa Banda Aceh bukanlah satu-satunya kota yang masih belum sepenuhya aksesibel. Masih banyak kota-kota lainnya yang juga belum akses. “Tapi, di Yogyakarta, kawasan Malioboro telah dicanangkan menjadi Malioboro aksesibel, terutama untuk trotoarnya. Hal yang patut ditiru untuk diterapkan di Kota Banda Aceh,” saran dia.

Sebagai organisasi non pemerintah yang hadir pascatsunami, Dino berterimakasih karena pedekatan yang mereka lakukan ke Pemerintah Kota Banda Aceh ditanggapi positif. “Alhamdulillah, untuk trotoar disepanjang Jalan Panglima Polem, akan dibuat menjadi akses. Untuk renovasi Pasar Aceh juga, rencananya akan ada lift. Pemko telah menyatakan komitmennya agar fasilitas publik yang dibangun pascatsunami memenuhi kadar aksesibilitas,” kata dia.

Pihak Handicap juga menyatakan ketidak takutannya saat harus meninggalkan Aceh pada Juni 2008 kelak. “Kami telah mengikat kerjasama dengan Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala dan Arsitektur Universitas Muhammadiyah. Pemerintah daerah juga telah menunjukkan komitmennya untuk membangun kota yang aksesibel bagi semua. Jadi, tak perlu ada kekhawatiran saat kami meninggalkan Aceh nantinya,” papar Dino.

Asisten III Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Propinsi Aceh, Usman Budiman, mengatakan, sebelum tsunami memang banyak bangunan tidak akses. ” Tapi, pascatsunami pemerintah telah mulai untuk membangun fasilitas yang aksesibel bagi semua,” kata dia.

Usman mencontohkan, untuk pembangunan Bandara Sulthan Iskandar Muda. Menurut dia, pembangunan Bandara sangat memperhatikan kadar aksesibilitas. Untuk bangunan baru bandara ini, untuk ruang keberangkatan dan transit akan dilengkapi dengan belalai yang langsung tersambung ke pintu pesawat.

“Dengan demikian, tidak perlu lagi menaiki tangga pesawat. Untuk memasuki terminal keberangakatan juga ada ramnya,” ujar dia.

Begitu pula halnya dengan pembangunan fasilitas publik lainnya, pemerintah telah mempersyaratkan bagi pihak swasta dan juga pemerintah yang akan membangun fasilitas publik haruslah memperhatikan prinsip Aksesibilitas. “Ini komitmen pemerintah yang akan terus dijalankan, meski masa rehab dan rekon nantinya usai,” janji Usman Budiman.[]
Reactions