[Makam syahid lapan di Cot Batee Geulungku, Simpang Mamplam, Bireuen, Aceh]
H. A. R. DJULI
[BIREUEN |
Makam Syuhada Lapan. Ya, masyarakat yang sering bepergian melalui Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Medan-Banda Aceh dan sebaliknya mungkin pernah mendengar atau setidaknya pasti melewati makam Syuhada Lapan yang terletak persis di pinggir jalan nasional tersebut. Tepatnya di Simpang Tamboe Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen.
Begitupun, belum tentu semua masyarakat mengetahui sejarahnya mengapa makam tersebut dinamakan makam Syuhada Lapan.
Menurut catatan, di situs sejarah perjuangan itu terdapat makam delapan pejuang yang syahid (gugur) dalam pertempuran melawan serdadu Marsose Belanda awal tahun 1902 masehi atau 114 tahun silam.
Dinamakan makam Syuhada Lapan karena di makam yang terurus rapi oleh masyarakat setempat itu dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan serdadu Marsose Belanda.
Menurut Arakata (catatan) yang tertulis rapi di didinding makam, kedelapan pejuang yang gugur yakni, ; Tgk. Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk. Muda Lem Mamplam, Tgk. Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk. Meureudu Tambue, Tgk. Balee Tambue, Apa Syekh Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.
Pada peristiwa heroik yang terjadi pada awal tahun 1902 itu, delapan lansyar mujahidin menghadang patroli berjalan kaki serdadu Marsose Belanda yang berkekuatan 24 orang bersenjata lengkap.
Mereka semuanya bersenjata api. Sedangkan delapan lasykar pejuang Aceh hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang tinggi, mereka berhasil menewaskan 24 serdadu Marsose Belanda.
Setelah delapan Lasykar pejuang Aceh berhasil menewaskan ke-24 serdadu Marsose Belanda. Ketika lansykar mujahidin sedang mengumpulkan semua persenjataan serdadu Marsose Belanda yang tewas, tiba-tiba sejumlah serdadu Marsose Belanda datang dari arah Jeunieb memberi bantuan.
Kedelapan pejuang Aceh yang sedang mengumpulkan senjata serdadu Marsoese Belanda tewas bersimbah darah diserang membabi buta oleh pasukan serdadu Mmarsose Belanda.
Jenazah kedelapan pejaung Aceh yang gugur sebagai Syuhada dimakamkan dalam satu liang, karena bagian tubuh kedelapan pejuang Aceh dicincang berserakan dengan pedang milik pejuang sendiri. .
Kini, makam Syuhada Lapan setiap hari mendapat kunjungan masyarakat dari Kebupatan Bireuen maupun dari luar yang ingin bernazar maupun untuk melepas nazar kenduri menyembelih sapi atau kambing di komplek malam Syuhada Lapan.
Para pengguna jalan kendaraan roda dua dan angkutan bus umum juga selalu berhenti sebentar begitu tiba di depan kuburan Syuhada Lapan untuk memberi sedekah (sumbangan).
Di depan makam memang telah disediakan celengan beton berbentuk miniatur rumah dan para warga dalam perjalanan memohon kepada Allah agar selamat dalam perjalanan ke tujuannya masing-masing.
Suatu hal yang unik di komplek Makam Syuhada Lapan dinaungi sebatang pohon “Sala Teunguet” (Sala Tidur) namanya. Kendati sudah berusia sekitar 114 tahun, pohon “Sala Teunguet” masih berdiri rindang menaungi Makam Delapan.
Sumber masyarakat setempat mengtakan, dinamakan pohom Sala Teungeut, karena setiap pukul 18.00 WIB menjelang senja daun-daun pohon itu menguncup dengan sendirinya.
Daun-daunnya kembali mekar keesokan paginya kendati sudah berusia 114 tahun pohon Sala Teunguet sampai sekarang masih berdiri kokoh dan rindang menaungi komplek Makam Syuhada Lapan.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis:
Suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan.
Perang antara pihak Belanda dan Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis:
“Tidak ada pasukan lain yang dikagumi Belanda kecuali orang Atjeh memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran. penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih dalam menghadang lawan, memperlihatkan cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Tulis GB Hoojeri.*]