Iklan

Kaji Ulang Kisah Raja Jeumpa dan Asal Muasal Bireuen

Artefak Kerajaan Jeumpa. 
Menilik sejarah dan asal usul Kabupaten Bireuen rasanya tidak akan membuat kita bosan. Meski beragam literatur telah disajikan. Memasuki usia ke-15, saya melihat tidak ada salahnya bila kita mengulang kaji kembali sejarah itu.
Mungkin diantara kita telah banyak membaca berbagai literatur akademis tentang Kerajaan Jeumpa yang sering disebut sebagai asal muasal kabupaten ini. Bireuen yang dulunya lebih dikenal dengan nama Jeumpa.
Tapi pada tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca untuk melihat dan menjumpai langsung salah satu saksi sejarah yang disebut-sebut punya ikatan silsilah langsung dengan keturunan Raja Jeumpa.
Ia adalah Muhammad Daud M. Thaib (72) atau sering disapa Bang Ulee Cot. Sebutan itu karena tempat tinggalnya berada persis di pinggir bukit (bahasa Aceh: cot) dengan ketinggian sekitar 10 meter. Di atas bukit itu adalah tempat bersemayamnya jenazah Tgk. Cot Cibrek.  

Muhammad Daud kini mendiami rumah bantuan Pemerintah Aceh bertipe 36 plus. Bantuan yang layak diberikan untuk seorang di antara ahli waris Raja Jeumpa. Ya, menurut pengakuan Muhammad Daud, ia adalah keturunan ke-9 dari Raja Jeumpa. Kepada kami, ia hanya ingat empat urutan silsilah di atasnya, yaitu: ayahnya M Taib, kemudian di atasnya berturut-turut: Peutua Hanafiah, Keuchik Ben Cut, dan Keujruen Sarah. Keujruen Sarah inilah yang diyakini mempunyai hubungan darah dengan Raja Jeumpa. 

Ia juga sempat bercerita sedikit tentang sejarah Raja Jeumpa. Dalam ceritanya ia menyebutkan kisah di tahun di tahun 2006, setahun setelah perdamaian Aceh. Saat itu pemuda asal Cirebon datang menemuinya. Setelah menyatakan maksudnya, ia kemudian diantar ke makam Raja Jeumpa. Di sanalah ia melazkan ayat kelima dari Surah Al-Fatihah. 
Iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’in. “Engkaulah yang kami sembah, dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan.“ (QS. 1 : 5). 
“Pemuda itu meyakini inilah ayat dari surah yang menyelamatkan Aceh dan kehidupan umat manusia,” tutur Muhammad Daud menirukan ucapan pemuda asal Cirebon kepadanya. “Kita bersaudara, tapi selama ini seakan begitu jauh. Pak Cik, pesan saya, kita harus mengamalkannya dengan ikhlas agar Aceh tetap damai.” 

Saya juga sempat mendatangi makam Raja Jeumpa di Dusun Tgk. Keujruen. Areal makam yang telah dipagari besi dengan pondasi beton berwarna orange itu sekilas terasa asing bagi yang belum terbiasa. Kami sendiri saat sampai di depan makam yang kini berupa bukit dengan ketinggian sekitar 30 meter itu juga merasakan hal demikian. Apalagi dengan pohon-pohon besar nan rindang berumur ratusan tahun yang tumbuh di atasnya. Makam Raja Jeumpa itu sendiri kini hanya bisa ditandai dengan batu-batu besar yang ada di bukit tersebut.
 
Dalam ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh –disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa— disebutkan, Kerajaan Islam Jeumpa sudah berdiri sejak sekitar abad ke-7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan, mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. 

Istana Raja Jeumpa terletak di Gampong Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara. Itu artinya telah menempatkan Kerajaan Islam Jeumpa sebagai kerajaan Islam pertama di nusantara. Jauh sebelum Kerajaan Samudra Pasai berdiri. 

Namun, dalam catatan sejarah lainnya disebutkan, Kerajaan Islam Jeumpa baru berdiri sekitar abad ke-13, saat sebagian besar penduduk dan Raja Kerajaan Melayu Islam Champa di Vietnam bermigrasi ke Aceh karena diserang oleh Kerajaan China. 

Kedatangan Raja Champa pada waktu itu (abad ke-13) disambut dengan hangat oleh pihak Kerajaan Pasai. Atas izin Raja Pasai pula kemudian Raja Champa mendirikan Kerajaan Jeumpa. 

Dalam riwayat Raja Jeumpa (Sejarah Kegemilangan, Kemakmuran dan Kemajuan Kerajaan Jeumpa 14 Abad Silam) yang terpampang di dinding di dalam meunasah Blang Seupeng ditulis: Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh, terletak di di Desa Blang Seupeung, merupakan permukiman padat penduduk dengan Bandar Pelabuhan Besar yang terletak di Kuala Jeumpa. 

Pada awal tahun 1989 dua pemuda Cina, laki – laki dan perempuan mengunjungi makan Raja Jeumpa, kepada sesepuh desa mereka mengatakan berasal dari Indo Cina, Kamboja. Mereka sengaja datang ke lokasi kerajaan Jeumpa untuk mencari tongkat nenek moyangnya zaman dahulu. Konon tongkat emas Raja Cina tersebut jatuh dan hilang saat menyerbu kerajaan Jeumpa, yang kemudian ditemukan oleh Raja Jeumpa.

Kerajaan Jeumpa pernah diperangi oleh pasukan Cina, Thailand dan Kamboja. Mereka pernah menduduki benteng Blang Seupeueng. Disebutkan, peperangan tersebut terjadi karena Raja Cina menculik permaisuri Raja Jeumpa yang cantik jelita, Meureudom Ratna.

Permaisuri Raja Jeumpa itu berhasil mereka bawa kabur sampai ke Pahang (Malaysia). Namun kemudian Meureudoem Ratna berhasil dibawa kembali ke Blang Seupeueng. Setelah Panglima Prang Raja Kera yang berasal dari Ulee Kareung, Samalanga berhasil mengalahkan Raja Cina.

Makam Raja tersebut hanya ditandai dengan batu-batu besar yang berlokasi di dusun Tgk Keujruen, Desa Blang Seupeueng. Sedangkan makam isterinya, Maureudom Ratna, berada di Desa Kuala Jeumpa.

Raja Jeumpa adalah putra dari Abdullah dan Ratna Kumala, beliau dinobatkan menjadi Raja dan Ratna Keumala sebagai permaisuri di Negeri Blang Seupeung tersebut. Raja Abdullah kemudian menamakan Negeri yang dipimpinnya itu dengan nama “Jeumpa” sesuai dengan nama Negeri asalnya yang bernama “Kampia”, yang artinya harum.

Raja Abdullah mengatur strategi keamanan Kerajaan dengan mengadakan latihan perang bagi angkatan darat dan laut. Saat itu angkatan laut merupakan angkatan perang yang cukup diandalkan, yang dipimpin oleh seorang Laksamana Muda.

Raja Abdullah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, yaitu Siti Geulima dan Raja Jeumpa. Setelah Raja Jeumpa dewasa dia membangun benteng pertahanan di tepi Pantai Laksamana. Raja Jeumpa kemudian memperistri seorang putri anak Raja Muda yang Cantik Jelita bernama Meureundom Ratna dari Negeri Indra. Menurut catatan sejarah, Meureudom Ratna masih ada hubungan keluarga dengan Putri Bungsu.

Kakak Raja Jeumpa, Siti Geulima dipinang oleh seorang Raja di Darul Aman yang bernama Raja Bujang. Maka atas dasar perkawinan itu antara Kerajaan Jeumpa dengan Darul Aman  terjalin hubungan lebih erat. Sesuai dengan namanya “Darul Aman” yakni negeri yang aman sentosa.

Abad ke-13
Muhammad Daud meyakini Kerajaan Jeumpa berdiri pada abad ke-13. Hal itupula yang kami lihat di papan yang terpangpang di dalam meunasah Gampong Blang Seupeung. 

Sebenarnya, menurut pengakuan Muhammad Daud, keluarga mereka memiliki arakata Kerajaan Jeumpa. Arakata yang ditulis dalam huruf jawi itu mulanya disimpan oleh saudara Muhammad Daud, Imum Syik Muhammad Saleh. Namun, hilang saat konflik Aceh. “Ia (Imum Syik Muhammad Saleh, Red) adalah mantan aktivis GAM,” ujarnya. 

Pembicaraan kami kemudian berlanjut pada sisa-sisa artefak (penginggalan sejarah) yang mungkin masih tersisa dari Kerajaan Jeumpa. Ditemani isteri dan cucunya, Muhammad Daud kemudian bercerita tentang beberapa temuan saat salah satu bukit di sisi rumah mereka menetap sekarang di keruk dengan alat berat. 

“Ada pecahan kaca yang mungkin adalah piring atau peralatan/hiasan lainnya,” ujar Muhammad Daud. Saat diperlihatkan oleh isterinya kepada kami, sekilas benda berwarna putih bening sebesar telapak tangan orang dewasa itu berbentuk batu. Tapi, kalau sudah dipegang, sangat terasa ketajamannya. Benda itu sendiri kini memang tak benbentuk lagi. Ia layaknya bongkahan biasa.   

Muhammad Daud pun tak mempersoalkan bila ada yang mengatakan itu adalah bongkahan batu biasa. Namun, ia tetap meyakini bahwa itu adalah bukti bahwa Blang Seupeung dulunya adalah pusat (bandar) Kerajaan Jeumpa dengan penduduknya yang sangat padat. 

Ia menyebut, benda-benda seperti itu banyak ditemukan saat pengerukan bukit. Namun, karena minimnya pemahaman warga akan sejarah nenek moyangnya dulu, membuat benda-benda seperti itu dibiarkan begitu saja. “Malah kami juga menemukan karung-karung beras yang sudah hitam,” pungkasnya. “Tapi, nasibnya juga sama.” 

Hasil observasi dari peneliti lain sebelumnya malah telah menemukan beragam artefak lainnya, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Artefak itu ditemukan di dekat makam Raja Jeumpa.

Dasar Hukum
Berdasarkan data dari www.kemendagri.go.id disebutkan, Kabupaten Bireuen terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Simeulue (Lembar Negara Tahun2000 Nomor 75, Tambahan Lembar Negara Nomor 3963). 

Kabupaten ini memiliki Luas wilayah 1.901,21 Km2. Pada Tahun 2006, secara administratif Kabupaten Bireuen ini terdiri dari 17 Kecamatan , 70 Mukim serta 559 Desa dan 2 Kelurahan. Jumlah penduduk pada Tahun 2006 sebanyak 354.763 jiwa yang terdiri dari 174.258 laki-laki dan 180.505 perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 0,97 atau dengan kata lain pada setiap seratus penduduk perempuan terdapat 97 orang.

Rata-rata kepadatan penduduk untuk setiap kilometer persegi adalah 187 jiwa. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang terendah adalah Pandrah 83 jiwa perkilometer persegi sedangkan kepadatan yang tertinggi terdapat di Kecamatan Peusangan yang mencapai 43.625 jiwa perkilometer persegi dan hampir seluruh penduduk Kabupaten Bireuen beragama Islam yakni mencapai 99,58 persen.

Asal Muasal Nama

[pullquote_left]Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh[/pullquote_left]

Beragam asal usul nama Bireuen memang pernah diungkapkan oleh berbagai tokoh. Namun, Tgk. Sarong yang pernah menjadi komandan pertempuran Medan Area tahun 1946, yang saat itu diberi gelar Kowera (Komandan Perang Medan Area) sebagaimana ditulis di Narit yang dipost ulang di seputaraceh.com mengungkapkan, Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh.

Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati sekarang. Saat itu, orang Arab pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka mengadakan kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan Belanda. Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen mulai dikenal.


Tgk. Sarong juga mengungkapkan, sebelum Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu namanya Cot Hagu. Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen. Wallahua’lam bissawab. (*)
Reactions