Iklan

Tentang Novel

Sepenggal Cerita dari (Novel) “Jiwa yang Termaafkan”

“Apakah aku ikhlas dengan kehidupan ini?” Sudah lebih dari satu jam aku termenung di teras depan masjid di kampungku. Ini adalah hari ketujuh setelah Abusyik meninggal. Itu artinya Abusyik dari Lam Meulo dan cucunya akan pulang. Aku bahkan belum sempat bertegur sapa dengan dirinya. Atau bahkan menanyai namanya.
“Melamun adalah salah satu jalan menuju penyucian diri. Seperti lamunannya sorang sufi di kegelapan malam yang menulis tentang kebaikan dan keburukan yang dikerjakannya hari itu ...,” Kata-kata itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke belakang.
Gadis cilik itu. Detak jantungku kembali berdebar. Tapi kebanyakan melamun atau melamun tidak pada tempatnya hanya akan membuat jiwa menjadi lemah.” “Ini diari abang?” tanyanya.
Aku hanya bisa bengong. Diam dalam bahasa verbal dan tubuh.
“Kita ke atas, yuk!” Gadis cilik berjilbab itu mengajakku. Menatap hamparan hijau sawah dari atas bangunan masjid. Aku hanya mengikuti dari arah belakang.
“Indah ya, bang, pagi ini?” Ia terlihat cukup rileks. Aku masih tidak berani menayainya namanya. Atau sekedar menjawab pertanyaannya. Ini adalah kali pertama ia menghampiriku. Sebelumnya ia hanya berbagi senyum ke arahku setiap kali kami beradu pandang. Ia malah masih memegang diariku. Dan, aku seperti tak kuasa untuk memintanya.
“Coba abang tarik nafas dalam-dalam dan tahan sekuat abang sanggup. Buat diri abang serileks mungkin dan hembuskan nafas secara perlahan.”
Gadis cilik berusia 7 tahun itu sudah menarik nafas dalam-dalam. Aku mencoba mengikutinya. “Begitu damai. Tenang. Membuat degub jantung yang tadinya tidak normal kembali stabil.”
“Melihat bumi ini dengan segala isinya, makin membuat kita merasa kecil dihadapan-Nya. Sungguh Tuhan itu Maha Kuasa.” Aku berusaha membuang seluruh tekanan bathin itu. Mencoba memberikan komentar.
“Manusia memang selalu kecil.” Gadis cilik itu membalas komentarku.
“Kalau sudah begitu, apa yang abang pikirkan?” Gadis cilik itu masih memandang ke hamparan hijaunya sawah.
“Tak banyak. Bagaimana mendapatkan ridha-Nya.”
“Berarti kita dulu yang harus ikhlas atas takdir-Nya.”
“Ikhlas. Tapi bukan berarti tanpa ikhtiar. Meski ucapan tak selalu seringan perbuatan.”
“Menurut abang, dari mana kita harus memulai agar bisa ikhlas?”
“Pikiran. Bagaimana kita memenej pikiran. Tapi, sampai sekarang, abang sendiri belum berhasil melakukan itu.”
“Mungkin memenej pikiran itu juga butuh langkah lainnya, bang.”
“Misalnya?”
“Aktivitas dalam konteks keridhaan-Nya.”
 “Tapi bagaimana kalau jiwa kita kerapkali gelisah.”
“Konteksnya itu juga. Keseimbangan hubungan dengan Allah dan manusia.”
“Namun, kadang kala saat berhubungan dengan manusia itulah kita sering dibuat tidak ikhlas.”
“Kuncinya, selalu lihat ke bawah.”
“Kata orang, kegelisahan jiwa itu bisa menjadi pancingan untuk hari esok yang lebih baik.”
“Itu kegelisahan jiwa yang termenej. Dimana kita tidak larut di dalamnya.”
“Maksudnya?”
“Kegelisahan jiwa itu lebih baik dijawab dengan langkah nyata. Bukan perenungan semata. Karena terkadang, makin direnungkan, akan semakin membuat tubuh kita lunglai dan malas beraktivitas.”
Aku berusaha lepas. Dari tekanan nafsu yang menggoda. Dan dari tekanan bathin yang membuatku sedih. Aku berusaha memposisikan gadis cilik itu sebagai gadis dewasa tempatku berbagi. Mungkin klise. Tak masuk akal. Terlalu egois karena memaksakan pemikiranku pada gadis cilik seperti dirinya. Aku bahkan tak menoleh saat bercakap dengannya. Hingga kudapati ia tak lagi di sampingku. Yang ada hanya diari kusam milikku. “Aku memang seorang pengeluh bermulut besar. Berangan-angan panjang. Tapi bernyali ciut.”
“Biarlah semua takdir yang menjawab. Walau aku tak yakin dengan takdir tanpa usaha.”


Sepenggal Lainnya:

Aku, Kak Azka, dan Bang Rei baru pulang dari masjid menunaikan salat Shubuh. Kami pulang berbarengan dengan Abusyik. Tapi Shubuh hari ini kami tidak langsung pulang ke rumah. Abusyik mengajak kami ke rangkang sawah di belakang rumah kami. Tanaman padi masih terlihat hijau. Sungguh sangat nyaman bila dipandang mata. Abusyik ingin bercerita kepada kami sebuah kisah tentang ketentuan Tuhan dalam kehidupan manusia.
Aku, Kak Azka, dan Bang Rei duduk di hadapan Abusyik. Aku memperhatikan wajah Abusyik yang begitu bercahaya. Bersih tanpa selembar bulu-pun di wajahnya. Abusyik begitu bersahaja meski hanya mengenakan peci hitam yang sudah agak kusam. Aku seperti menangkap pancaran cahaya dari balik baju putihnya yang layu dimakan usia.

Pada suatu masa hiduplah seorang pangeran tampan dan putri cantik jelita, nan baik hati. Mereka senang sekali bertamasya ke hutan dengan kereta kencana. Hingga suatu hari, mereka melihat kepompong yang melekat pada dedaunan sebatang pohon.
Sang putri sangat senang. Ia berteriak girang, “Pangeranku, lihatlah kepompong yang muncul dari celah-celah kecil itu.”
Sang pangeran pun lalu memerintahkan pengawalnya untuk menghentikan kereta kencana. Mereka lalu turun. Dua orang pengawal membawakan mereka dua buah kursi. Sang putri duduk dan setia memperhatikan perjuangan keras kepompong itu.
Setelah menunggu berjam-jam, kepompong tersebut ternyata belum juga mampu mendorong tubuhnya untuk keluar dari lobang kecil.
“Pangeranku, kasihan sekali kepompong itu. Usahanya mungkin akan sia-sia. Padahal aku sudah tidak sabar melihat kupu-kupu yang indah rupawan.” 
“Ia putri ku. Sepertinya ini adalah titik akhir dari usahanya.”
“Lalu, apa yang mesti kita lakukan, wahai pengeranku?”
“Kita harus membantunya.” Sang pangeran lalu memerintahkan pengawalnya membawa sebilah pisau.
Sang pangeran dan putri kemudian mendekat dan membuka kepompong itu. ”Hore...!” Putri nan baik hati itu berteriak girang saat kupu-kupu keluar dengan sangat mudahnya.
Tapi, kegirangan sang putri tak bertahan lama. ”Wahai pangeranku, kenapa kupu-kupu itu tidak memiliki tubuh yang sempurna?”
Sang pangeran pun ikut mengamatinya, ”Iya, Tubuhnya kecil dan sayapnya tidak berkembang.”
Mereka lalu kembali ke kursi dan duduk menunggu perkembangan kupu-kupu tersebut. Setelah menunggu berjam-jam, sayap kupu-kupu itu tidak juga berkembang dan menjadi kuat untuk mendukung tubuh kupu-kupu itu sendiri.
“Wahai pangeranku, sepertinya apa yang kita harapkan tidak akan terjadi.” Keduanya lalu tertunduk lesu.
Kenyataanya, kupu-kupu tersebut malah menghabiskan seluruh hidupnya merayap dengan tubuh yang lemah dan sayap yang terlipat. Kupu-kupu itu tidak akan pernah bisa terbang.
Sang pangeran dan putri baik hati itu tidak pernah mengerti bahwa perjuangan dengan cara mengeluarkan seluruh cairan dari badan kepompong adalah suatu proses yang dibutuhkan. Dengan begitu, sayapnya dapat berkembang dan siap untuk terbang begitu keluar dari kepompong tersebut. Sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Perjuangan adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup ini.  
Tuhan bisa saja mentakdirkan manusia hidup tanpa cobaan. Namun, hal itu justru akan membuat manusia itu sendiri lemah. Tidak akan pernah bisa terbang seperti kupu-kupu itu.
“Manusia meminta kemakmuran, Tuhan mengenugerahkan intelegensi dan kekuatan untuk bekerja.”
“Manusia berharap memperoleh keberanian, Tuhan membuat rintangan untuk dihadapi.”
“Manusia meminta cinta, Tuhan memperlihatkan orang-orang yang dalam kesulitan untuk dibantu.”
“Manusia memohon kekuatan, Tuhan memberi kesulitan untuk dihadapi agar hamba-Nya menjadi kuat.”
“Manusia ingin bisa bersikap bijaksana, Tuhan menguji hamba-Nya dengan masalah yang harus dipecahkan.”
“Manusia memohon pertolongan, Tuhan membuka kepada hamba-Nya kesempatan.”
“Manusia tidak memperoleh  apa yang diinginkan. Tapi dianugerahi oleh-Nya apa yang dibutuhkan.”
“Tatap, rasakan, dan jalanilah hidup tanpa ketakutan! Terus berjuang! Yakinlah pada ketentuan Tuhan bahwa manusia bisa menghadapi setiap rintangan dan cobaan hidup.”

Aku Luruh. Luruh pada jiwaku yang senantiasa mengeluh. Terima kasih Abusyik. []20