Orang-orang asal Peusangan ini diperkirakan adalah orang pertama yang membuka areal pemukiman penduduk di gampong yang kemudian dikenal dengan nama Gampong Batee Raya, Kecamatan Juli, Bireuen.
“Buyut kami sejak dulu
menceritakan bahwa batee (batu) itu
sudah besar segitu,” tutur Abdul Hadi, Keurani (Sekretaris) Gampong Batee Raya.
Abdul Hadi adalah pemilik tanah yang berhadapan langsung dengan petapakan Batee
Raya.
Tanah pada petapakan Batee
Raya itu sendiri adalah tanah adat gampong.
Banyak cerita yang berkembang
terkait Batee Raya (batu besar) yang diatasnya datar dan luas itu. Bahkan
sebagaimana diceritakan Junaidi, dibagian atasnya cukup dan bisa untuk
menampung sekelompok orang yang ingin
berdo’a.
Dibagian belakang dari batu
itu juga terdapat tangga (menyerupai) yang bisa digunakan untuk mempermudah
pengunjung menapaki hingga ke bagian atas Batee Raya.
“Hingga tahun 1970-an, kenduri blang masih dilaksanakan disekitar Batee Raya,” tutur Abdul Hadi dalam suatu kesempatan wawancara dengan Trang. Ditemani Keuchik Junaidi M. Nur dan Keurani Cut, Mukhlis.
Konon katanya, menurut cerita legenda dari buyut penduduk Gampong Batee Raya, di dalam Batee Raya terdapat berbagai macam piring, cangkir dan peralatan prasmanan lainnya. Masyarakat Gampong Batee Raya dahulu, menurut cerita yang berkembang, biasa mengambil alat prasmanan untuk kebutuhan kenduri dari dalam Batee Raya. Ketika masyarakat berhajat untuk kenduri dan pergi ke Batee Raya, ada pintu yang terbuka dengan sendirinya, hingga masyarakat bisa mengambil piring, cangkir dan sebagainya dari dalam Batee Raya.
Namun, pintu itu akhirnya tertutup untuk selamanya setelah salah seorang penduduk gampong yang berhajat kenduri dan kemudian mengambil piring dari dalam Batee Raya, pada saat mengembalikannya ke dalam Batee Raya, menukar diantara salah satunya dengan piring miliknya.
“Jadi, kalau seseorang mengambil dan meminjam piring atau cangkir dari dalam Batee Raya, harus dikembalikan utuh sebagaimana saat mengambilnya dan tidak boleh ditukar,” kata Abdul Hadi.
Disini sebenarnya ada pelajaran
yang bisa kita petik bahwa kita harus jujur dengan kehidupan ini. Alkisah,
setelah itu tak ada lagi yang bisa mengambil piring dan peralatan kenduri
lainnya dari dalam Batee Raya. Meski demikian, kenduri blang tetap berjalan
hingga tahun 1970-an di lokasi yang berdekatan dengan Batee Raya.
Kisah Batee Raya sebenarnya
adalah sebuah cerita tentang para petani kebun yang dahulunya lebih banyak
menghabiskan waktu mereka di areal perkebunan yang berada perbukitan Dusun Kuta
Bato yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat Gampong Batee Raya di Dusun
Simpang Empat.
Keuchik Batee Raya, Junaidi
M. Nur menuturkan, dahulu sebelum konflik berkecamuk hebat, umumnya masyarakat
Batee Raya punya rumah kedua di areal perkebunan untuk menjaga dan merawat
hasil kebunnya. Tak jarang, dalam seminggu, masyarakat membagi waktu tiga hari
menginap di kebun dan empat hari di pemukiman penduduk atau sebaliknya.
“Malah pada saat-saat tertentu, misalnya, pada masa panen, gampong sepi karena masyarakat jarang pulang,” tuturnya.
Di areal perkebunan dengan luas lahan 800 hektar (400 hektar lainnya merupakan lahan tidur), Junaidi menyebutkan, sekitar 200 hektar merupakan lahan kepala hibrida dan 200 hektar lainnya ditanami berbagai macam tanaman palawija, seperti, karet, coklat, jagung, pinang dan sawit. Jagung malah pernah menjadi tanaman andalan petani kebuh Batee Raya.
“Tapi kini masyarakat kekurangan modal usaha untuk mengolah tanah kebun miliknya. Akhirnya beberapa masyarakat menjadi buruh kebun yang dimiliki oleh beberapa pemilik modal,” ujar keuchik.
Untuk itu ia berharap, pemerintah dapat memfasilitasi usaha perkebunan rakyat di Batee Raya melalui pemberian modal usaha. Dengan demikian, lahan tidur dapat dimanfaatkan menjadi lahan produktif.
“Kami juga berharap pemerintah dapat melakukan pengerasan jalan menuju perkebunan rakyat. Selama ini, kalau hujan, masyarakat tidak bisa melintasinya. Jika sedang berada di kebun dan tidak cepat-cepat turun ke kampung, masyarakat harus siap-siap terjebak di perkebunan. Masyarakat harus menunggu saat hujan reda dan jalan kering. Itu biasanya butuh waktu berjam-jam,” papar keuchik.
Walau demikian, di Hari Ulang
Tahun (HUT) Bireuen ke-13, Keuchik Junaidi memberi apresiasi atas apa yang
sudah dicapai pada masa kepemimpinan Bupati H. Ruslan M. Daud dan Wakil Bupati
Ir. Mukhtar Abda, M.Si.
“Kami melihat pembangunan di beberapa tempat sudah mulai terasa gemanya. Namun kami berharap perhatian juga bisa diberikan untuk Batee Raya. Seperti pemberian modal usaha rakyat dan pengerasan jalan menuju perkebunan,” nilai Junaidi.
“Alangkah baiknya juga kalau tempat dan sekeliling petapakan Batee Raya dipugar, karena selama ini banyak masyarakat yang penasaran berkunjung untuk melihatnya,” demikian Keuchik Junaidi M. Nur. (mardani malemi)