MPU Kabupaten Bireuen. Ist. |
Bebicara dengan beliau
memberikan gambaran yang begitu jelas kepada saya bagaimana pondasi agama
(syiar) Islam ditegakkan.
“Ilmu dan pengetahuan agama yang
kurang dari seorang umat akan membuat pengalamannya juga menjadi lemah.” Tgk. H.
Hanafiah BA, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen
beberapa kali mengingatkannya kepada saya.
Hari itu, Rabu (18/6/2013), saya secara khusus menemuinya di sekretariat MPU Kabupaten Bireuen di Lantai 2 gedung Dinas Syariat Islam. Sebagai jurnalis, bertemu secara khusus dengan beliau tentu memberi ruang lebih kepada saya untuk bertanya tentang banyak hal. Apalagi hari itu beberapa Teungku Dayah dan juga Tgk. Muhammad Ishaq atau biasa disapa Abon (Imam Besar Masjid Agung Bireuen) secara kebetulan sedang berkumpul. Diskusipun berlanjut mulai dari peran MPU, isu-isu umat masa kini, hubungan ulama dengan umara, demokrasi, hingga pendangkalan aqidah.
Dari diskusi panjang dengan beliau, Tgk. Hanafiah berulang-ulang menekankan pentingnya pengajian kembali dihidupkan di gampong-gampong di Aceh seperti zaman dahulu.
Pengajian, yang dahulu begitu semarak sehabis magrib, menurut beliau, merupakan pondasi tegaknya syiar agama.
Ulama, tutur Tgk. Hanafiah, khususnya di Bireuen, pada dasarnya selalu siap membimbing umat melalui pengajian-pengajian. Termasuk untuk menyemarakkan kembali pengajian-pengajian sehabis magrib.
“Ulama tidak kemana-mana.
Selalu bersama umat.” Tgk. Hanafiah pun menuturkan tentang pentingnya peran
umara untuk mendekatkan umat dengan ulama.
“Jangan sampai umat menjauhkan diri dari ulama.”
Atas dasar itu, beliau, bersama-sama Abon kemudian mengingatkan tentang Sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa salam:
"Akan datang suatu masa dimana umatku menjauhkan diri dari para Ulama dan Fuqaha. Maka Allah akan menimpakan tiga bencana atas mereka: Pertama, dicabut kembali berkah usahanya; Kedua, dikuasakan penguasa yang dhalim atas mereka; Ketiga, mereka meninggalkan alam dunia tanpa membawa iman." (Alhadits).
Tgk. Hanafiah menambahkan, tanda-tanda umat lari (menjauhkan diri) dari ulama sudah mulai terlihat saat ini, karena itulah peran umara sangatlah dibutuhkan.
“Pada diri ulama itu terdapat ilmu bermanfaat dan umara (para pemimpin/penguasa) mempunyai kekuatan untuk mengajak dan memberikan sanksi kepada yang dipimpin (umat) bila telah terjerumus ke dalam perbuatan dhalim.”
Terkait dengan peran MPU, Tgk. Hanafiah mengatakan, MPU berkewajiban memberikan nasehat kepada pemerintah diminta dan/atau tidak. Untuk hal itu pulah kemudian MPU Kabupaten Bireuen dibentuk sejak tahun 2001 silam.
“MPU itu adalah mitra sejajar pemerintah,” ujarnya.
Walau demikian, lanjut beliau, MPU di tingkat Kabupaten Bireuen tetap melayani dan memfasilitasi masyarakat atau lembaga negara yang ingin meminta penjelasan terkait perkara dan/atau hukum-hukum Islam yang dianggap masih diragukan.
“Yang perlu dipahami bahwa MPU di tingkat kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan fatwa, karena itu ada di MPU tingkat provinsi,” lanjut Tgk Hanafiah.
“Jadi MPU itu tidak berhak memutuskan suatu perkara. Tapi memberikan penjelasan atau pertimbangan hukum kepada lembaga atau instansi yang berhak atas perkara itu sendiri.”
Menurut beliau, selama ini, beragam kalangan masyarakat dan instansi datang ke MPU untuk meminta penjelasan tentang hukum Islam, misalnya, masalah-masalah yang terkait dengan nikah dan tanah wakaf.
Meski baru saja dikukuhkan
memimpin MPU Kabupaten Bireuen Mei 2013 lalu, sosok Tgk. Hanafiah sebenarnya
bukanlah orang baru di MPU. Beliau telah aktif sejak MPU Kabupaten Bireuen
dibentuk tahun 2001 silam. Ketika itu, ulama kelahiran Peudada, 2 Januari 1945
itu menjabat sebagai wakil ketua, mendampingi Alm. Tgk. Jamaluddin hingga masa
dua periode kepengurusan MPU.
Tgk. Hanafiah pun sempat menjabat sementara sebagai ketua ketika Tgk. Jamaluddin wafat tahun 2011.
Menempuh pendidikan di PGA 4
tahun Muhammadiyah Bireuen pada tahun 1964 dan berlanjut ke Dayah Nurul Huda
Peudada dalam kurun waktu 1964-1969, hingga kemudian hijrah ke Banda Aceh untuk
menimba ilmu di Jurusan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh antara 1969-1972, kiprah beliau kemudian semakin dirasakan masyarakat.
Sebelum akhirnya aktif di MPU, ayah tiga putra, empat putri dan 13 cucu yang kini menetap di komplek Dayah Nurul Huda, Pulo Ara, Peudada, Bireuen ini telah terlebih dahulu menjadi anggota DPRD Aceh Utara periode 1971-1977 dan Kepala KUA Kecamatan Gandapura sejak tahun 1979-2000.
Pengalaman hidup itu pulalah yang telah menempa beliau hingga menjadi sosok ulama yang tidak hanya bijak dalam memberikan penjelasan-penjelesan terkait hukum Islam, namun juga mengerti tentang tata kelola pemerintahan dan dinamika hdup bermasyarakat. Karena itu, tak mengherankan bila beliau kemudian dipercaya memimpin MPU Kabupaten Bireuen periode 2013-2018.
Sebagai ulama yang meraih gelar Bachelor of Art (BA) dari IAIN Ar-Raniry dan pernah aktif sebagai anggota DPRK Aceh Utara, Tgk. Hanafiah pun tak luput mengkritisi sistem demokrasi yang saat ini diterapkan di republik ini.
Beliau menilai, demokrasi yang menyamakan suara seorang ulama yang berpengetahuan dengan seorang yang tidak berpengetahuan sungguhlah tidak tepat dan bukan ciri-ciri demokrasi islami.
Dibalik itu semua, suami dari Rohani ini mengajak umat untuk menyikapi hidup ini dengan bijak. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan. Terutama pengetahuan tentang dasar-dasar hukum Islam agar tidak salah melangkah. Dan, itu akan dengan mudah didapatkan masyarakat bila pengajian dengan bimbingan para ulama kembali semarak di meunasah-meunasah gampong di Aceh.”
“Bila ini benar-benar bisa ditegakkan kembali, maka kita tidak perlu terlalu risau dengan isu-isu pendangkalan aqidah karena umat sudah mempunyai benteng yang kuat,” tuturnya.
Maka, sebagai amal ma’ruf
nahi munkar, Tgk. Hanafiah berpesan, sudah selayaknya Wilayatul Hisbah (WH)
tidak hanya memfokuskan diri pada razia-razia dipusat perkotaan, melainkan
aktif turun ke gampong-gampong untuk menyerukan dan mengawal tegaknya syiar
Islam.
“Kalau pengetahuan agama umat
sudah kuat dan syiar agama tegak di gampong-gampong di Aceh. Rasanya
pelanggaran syariat juga akan berkurang dengan sendirinya,” nilai Tgk.
Hanafiah. Wallahua’lambissawab. (mardani
malemi)