“Satu… dua… tiga…. Satu…
dua… tiga…. Geser kiri. Bacut treuk
(sedikit lagi).” Teriak mereka yang berada di sisi
depan. Yang di belakangpun bergeser. Sesuai aba-aba. Tak sampai 10 menit,
aba-aba itu berulang kembali. Begitu
seterusnya.
Kebersamaan
itu serasa masih sangat melekat saat saya berkunjung ke Gampong Batee Timoh.
Daerah pesisir yang berjarak 7 kilometer arah barat kota Bireuen. Boat-boat
nelayan pulang silih berganti di sore itu.
“Poh peut sampe poh lapan (jam empat –sore— sampai jam delapan),” tutur
seorang nelayan kepada saya. Iya, boat-boat itu mulai merapat ke pantai sejak jam
4 sore hingga 8 malam. Bahkan kadang lewat dari jam itu. Selama itupula nuansa
kebersamaan terasa kentara di Batee Timoh.
Berada
di dalam wilayah Kecamatan Jeumpa, hanya ada satu tempat pelelangan ikan di
Batee Timoh. Tak ada dermaga yang menjorok ke pantai agar nelayan bisa langsung
menambatkan boat-boat mereka. Satu-satunya cara hanya dengan mendorong
boat-boat itu ke pesiri pantai. Menggunakan roda pendorong yang telah
dimodifikasi khusus. “Made in Batee Timoh.”
Seorang nelayan setengah berbisik ke arah saya, dengan senyuman yang
terkulum. Lalu saya berbisik hal lain. Tawanya pun merekah.
“Nyoe…
nyoe nyan (iya… iya itu),” tuturnya.
“Jepang juga maju melalui inovasi-inovasi kecil yang kemudian berubah menjadi
industri modern raksasa.”
Sore
itu, saya benar-benar merasa betah berada di Batee Timoh. Meski penampilan saya
sedikit terasa asing saat di sana, tapi saya sedikitpun tidak merasa risih.
Saya bisa berinteraksi dengan leluasa di Batee Timoh.
Sejatinya,
ada sekitar 80 boat nelayan di pesisir Batee Timoh. Semuanya, sebagaimana
dituturkan Muhammad Nazar, Sekretaris Gampong Batee Timoh dimiliki sendiri oleh
penduduk Batee Timoh.
“Semuanya boat thep-thep (menggunakan mesin tempel),”
ujarnya. Biasanya, boat itu sendiri dipawangi oleh dua atau tiga nelayan.
Menjadi
nelayan, sepertinya sudah mendarah daging bagi penduduk Batee Timoh. Hal ini
juga dipermudah oleh keberadaan toke bangku (istilah dikalangan nelayan) yang
memodali setiap nelayan melaut. “Biasanya toke bangku akan memodali nelayan
untuk membeli bahan bakar,” sebut Nazar. “Toke bangku orang Batee Timoh
juga.”
“Sebagai
imbal jasanya, nanti para toke bangku akan mendapatkan jatah 10 persen dari
hasil penjualan ikan tangkapan nelayan. Tentu selain harus melunasi modal yang
diberikan sebelumnya,” lanjut dia. “Kalau tidak ada toke bangku pun tentu sulit
bagi nelayan untuk melaut, karena hasil tangkapan tidak menentu. Apalagi, untuk
sebuah boat kadang butuh dana operasional hingga Rp400 ribu sekali melaut.”
Meski
demikian, menurut Nazar, kalau dirata-ratakan, umumnya para nelayan Batee Timoh
mendapatkan penghasilan Rp100 ribu per harinya. “Target nelayan di sini
sebenarnya bisa mendapatkan ikan Tuna yang harganya mencapai Rp1,5 juta per
ekornya. Tapi, ikan itu (Tuna) kadang hanya berhasil di dapat satu atau dua
ekor saja dalam sebulan.”
Hal
itu dibenarkan pula oleh Iskandar, seorang nelayan Batee Timoh. “Biasanya kami
pergi melaut menjelang tengah malam dan pulang pulang menjelang sore,” ujarnya.
Bagi
Iskandar, kebersamaan nkelompok nelayan Batee Timoh adalah denyut nadi ekonomi
nelayan itu sendiri. “Bayangkan, bagaimana kami bisa pergi dan pulang melaut
kalau tidak ada orang-orang yang mendorong boat kami untuk disandar ke
pantai.”